Bagian 6

528 76 9
                                    

"Silakan duduk."

"Terima kasih, Dok." Nusa menarik kursi di depan meja selagi sepasang netranya tiada lepas memandang seorang yang berprofesi dokter tersebut. Ia tak dapat menyangkal gemuruh di dalam dadanya ketika pria yang terpaut usia begitu jauh dengannya itu membuka hasil pemeriksaannya seminggu yang lalu. Nusa memutuskan untuk pergi ke Bandung. Di samping pesan yang ia terima kemarin sore, ia juga perlu mengetahui apa yang terjadi kepada tubuhnya belakangan ini. Apa yang membuatnya sering sakit kepala, mual dan muntah, hingga pingsan.

"Saya menghubungi nomor wali yang kamu tinggalkan, tapi tidak bisa tersambung," pria paruh baya itu membenahi letak kaca matanya selagi menghela napas. Sadar jika Nusa asal mengisikan nomor telepon seminggu yang lalu, "dan sekarang kamu datang sendiri?"

"Saya sungkan untuk meminta wali kelas saya datang, Dok. Jakarta—Bandung cukup jauh. Mungkin nanti saya bisa menghubungi beliau setelah tahu hasil pemeriksaan dari Dokter." Nusa mencoba berkata dengan tenang, meski pria yang di hadapannya kini dapat menangkap getar dari suaranya. Perasaannya bertambah gusar tatkala mendapati sosok itu berulang kali menghela napas panjang.

"Kamu bilang pernah menjalani pengobatan pasca kecelakaan hampir selama setahun. Apa waktu itu kamu juga berobat sendiri?"

Nusa dapat menangkap kesangsian yang amat pekat dalam raut sang dokter. "Ada orang baik yang membantu saya."

"Bisa minta bantuan ke orang itu lagi?" Dokter menjeda kalimatnya ketika Nusa memilih untuk diam, "Maaf kalau ini membuat Adik enggak nyaman. Saya hanya khawatir karena kamu masih di bawah umur untuk melakukan semuanya sendiri."

"Apa sakit saya sebegitu serius, Dok?" Nusa berbalik melempar pertanyaan. Ia sadar jika sedari tadi bukan hanya dirinya yang mencoba menutupi latar belakang keluarganya, tapi ada hal lain yang juga sosok itu sembunyikan. Jemari Nusa mulai terasa dingin ketika pria di hadapannya tidak menyanggah kalimat yang ia tanyakan. Jantungnya berdetak lebih kuat tatkala sebuah hasil pindai MRI diarahkan kepadanya.

"Kamu lihat bagian ini?" Sang dokter menunjuk bagian tertentu dalam hasil scan tersebut. "Kami menemukan glioblastoma, jenis kanker ganas bersarang di otak kamu."

Lidah Nusa kelu selagi jantungnya memompa darah semakin cepat. Hawa panas seketika menjalar ke seluruh badan. Menghentikan semua gerak tubuh, termasuk pikirannya. Tiada sedikit pun respons yang mampu ia berikan.

"Apa selama seminggu belakangan ini muncul sakit lagi?"

Nusa meremas jemarinya di bawah meja. Bohong jika sakit itu tidak lagi timbul. Bahkan baru kemarin sore dirinya hampir kewalahan mengatasi serangan yang kembali muncul. Namun, lidahnya masih terasa kelu untuk menjawab pertanyaan itu.

"Sakitnya mungkin akan bertambah parah dengan intensitas yang lebih sering dari sebelumnya. Oleh karena itu, kita harus sesegera mungkin mengambil tindakan."

"Apa saya harus dioperasi?" Dengan susah payah, kalimat itu keluar dari bibir pucat Nusa.

"Glioblastoma adalah jenis kanker yang hanya menyebar di bagian otak. Pengobatan yang paling efektif memang sebisa mungkin mengangkat atau mengurangi sel kanker yang ada. Tapi untuk kasus kamu, saya belum bisa menemukan dokter yang bersedia untuk melakukan operasi melihat dari letak dan tingkat keparahannya. Kecil persentase keberhasilan jika kita lakukan pengangkatan. Belum lagi jika memang berhasil, dampak dari operasi mungkin dapat menyebabkan kelumpuhan. Adik mungkin enggak akan bisa kembali seperti semula."

"Jadi saya masih bisa sembuh tanpa operasi?" Suara Nusa masih terdengar bergetar.

"Masih ada alternatif pengobatan lain. Kita bisa melakukan pemeriksaan lagi dan mempertimbangkan untuk kemoterapi atau radioteripi untuk memperpanjang harapan hidup. Selama jangka waktu itu, kami akan membantu mencari dokter yang bersedia kalau Adik memang mau melakukan operasi dan menerima semua risiko yang mungkin terjadi. Operasi pun tidak menjamin untuk sembuh total. Kami hanya sebisa mungkin memperpanjang hidup pasien untuk beberapa bulan ke depan."

Nusa SagaraWhere stories live. Discover now