Bagian 14

417 61 16
                                    

Bukan sekali dua kali Pinka menoleh ke sisi kanan. Segala bentuk refleks dan ketidaksengajaan termasuk untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja ia gunakan sebagai alasan. Acara selesai tepat pukul sepuluh malam dan panitia acara baru dapat meninggalkan sekolah jam sebelas kurang. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Nusa mengantar Pinka pulang. Sama halnya dengan teman-teman laki-laki lain yang mengawal teman perempuannya sampai rumah.

"Lihatin aja enggak papa, Ka. Lo mesti jarang diantar cogan." Nusa terkekeh kecil. Ia sadar jika sejak di dalam mobil tadi, Pinka kerap menoleh ke arahnya yang berada di depan kemudi.

Tertangkap basah, Pinka sontak mengalihkan pandangannya. Ia tidak dapat mengelak jika memang sedari dulu sangat jarang ada teman yang mau mengantarkannya pulang. Di samping dirinya tak cukup pandai bergaul untuk menemukan teman setia, orang mungkin akan canggung jika terlibat perjalanan yang sama dengannya. Pinka tiada dapat memulai pembicaraan. Dalam kurun waktu itu, tidak banyak orang baru yang betah berlama-lama bersamanya.

Pinka berdeham untuk menutupi kegugupannya, lantas mencoba untuk mengawali percakapan barang sekali. "Lo ... emang sering sakit gitu, Sa?"

Nusa tak lantas menjawab. Sepasang manik legamnya memandang jalan di depan. Fokus mengemudikan mobil hitam yang ia kendarai dengan kecepatan sedang. Saat itu Pinka sadar jika kalimat yang ia tanyakan mungkin membuat Nusa merasa tidak nyaman. "Lo enggak perlu khawatir. Gue enggak bakal bilang-bil—"

"Kadang aja, Ka," potong Nusa, "darah rendah sama mag. Kadang kalau kumat bisa sampai tumbang gitu. Sorry, jadi sering ngerepotin lo mulu."

"Jangan telat makan sama tidur."

Nusa sontak menoleh ketika mendengar kalimat itu. Kurva merah di paras tampan Nusa lantas timbul. "Lo lucu."

Pinka mengernyitkan dahinya. "Apanya?"

Lelaki itu mengulum senyum. "Bukan apa-apa."

"Aneh," gumam Pinka selagi memandang ke luar kaca mobil.

Hening cukup lama. Entah mengapa Pinka merasa gatal ketika Nusa banyak diam. Maka dari itu, ia mencari topik lain untuk memancing lelaki itu. "Cewek lo di Bandung enggak cemburu kalau tahu lo ngantar gue pulang, Sa?"

"Cewek gue?"

"Hm. Semua orang juga tahu kalau lo punya pacar di Bandung. Anak ITB, kan? Sampai lo rela tiap weekend nyamperin dia buat apel."

Nusa tak dapat menahan senyumnya. Entah rumor itu bersumber dari mana, Nusa memang tidak pernah menghentikan kabar burung tentang dirinya di sekolah. Namun, ia tiada menyangka jika hal itu akan sampai ke telinga Pinka. "She's so sweet, she's so pretty, so kind and smart, Ka. Tipe ideal gue. Dibanding dia yang cemburu karena gue ngantarin lo, akan lebih banyak gue yang cemburu karena tiap harinya dia ketemu cowok yang lebih dari gue."

"But, menurut gue lo lebih dari cukup, Sa. For me, lo ada beberapa tingkat di atas cowok standar."

Jika biasanya Nusa diam saat mendengar sanjungan semacam itu dari para siswi Gardya, kali ini Nusa tidak dapat mengontrol ekspresinya. Ia tertawa geli ketika secara tidak langsung Pinka memujinya. "Lo makan apa aja hari ini, Ka? Sampai have so much energy." Nusa menyadari hal itu sedari pagi. Pinka yang biasanya malas bersosialisasi, selama acara games di sekolah, ia menjadi panitia yang paling semangat dalam keberlangsungan lomba. Gadis itu sempat menawarkan diri untuk membantunya saat malam puncak acara tadi dan kini percakapan antara mereka lebih didominasi oleh Pinka.

"Nasi kotak dari panitia," jawab Pinka polos.

Nusa sontak terkekeh. Suasana hatinya tak cukup baik usai mendapat serangan di sekolah tadi. Namun, berkat perempuan berkemeja pink di sampingnya kini, Nusa merasa lebih baik.

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang