Bagian 16 [Kilas Balik]

401 60 23
                                    

Senyum Rossa mengembang ketika mencium aroma yang keluar dari hasil masakannya. Sensasi dingin dari gerimis selepas hujan sore itu sangat cocok dipadukan dengan kepulan kuah cokelat rawon buatannya. Wanita itu melepas celemek setelah menata piring di atas meja makan. "Nusa, turun dulu, Sayang! Kita makan malam bareng-bareng. Mama masak rawon kesukaan kamu." Ia berteriak dari ruang makan. Berhubung di luar negeri putranya sulit menjumpai makanan khas nusantara, Nusa langsung meminta dibuatkan rawon setelah dua hari pulang dari Swiss.

Tidak terdengar jawaban dari lantai atas. Sosok Nusa jua tak turut terlihat. Lantas, ia memutuskan meninggalkan meja makan dan Hadyan. Memilih naik ke kamar putranya untuk menjemput sosok itu.

Rossa membuka pintu bercat cokelat yang sedikit terbuka. Dengan senyum lebar, ia memasuki kamar sang putra. "Nusa, makan dulu, Nak ...." Kalimat wanita itu menggantung. Matanya melebar tatkala mendapati sosok Nusa tergeletak di dekat ranjang dengan obat-obatan berserakan di lantai. Secepat mungkin, ia menghampiri anak semata wayangnya.

Jantung Rossa terpacu cepat. Tubuhnya bergetar hebat saat melihat kondisi sang putra dari arah dekat. Sosok itu sudah tak sadarkan diri dengan mulut berbusa.

***

"Yan, gue pulang dulu. Anak gue udah nunggu di rumah."

Sian mengangkat pandangan dari layar komputer saat seorang pria berumur tiga puluhan turun dari lantai dua dan berpamitan. "Iya, Bang Dani. Kerjaan di atas udah selesai?"

"Setengah jalan. Lo urus sisanya, ya. Gue butuh duit secepatnya. Nominalnya kayak biasa aja. Jangan banyak-banyak, nanti curiga," Seorang bernama Dani itu menitipkan pesan, "lo langsung naik aja. Biar Bayu yang jaga di bawah."

Remaja tahun terakhir SMP itu menyanggupi. Belum genap enam bulan dirinya bekerja di tempat ini. Namun, pegawai lama di warnet tempatnya bekerja sudah cukup mempercayainya.

Setelah kematian sang ayah setengah tahun lalu meninggalkan banyak utang, Sian berputus untuk bekerja paruh waktu membantu ekonomi keluarga. Sebab selalu hidup berkecukupan, ia tak menyangka jika usaha warung internet di pinggir kota saat ini masih juga ramai. Remaja dan dewasa kelas menengah ke bawah masih sering menghabiskan waktu di tempat seperti ini meski untuk sekadar bermain game, mengerjakan tugas, atau beberapa di antaranya masih mengunjungi konten-konten tak senonoh di internet. Tidak ada larangan khusus yang diberlakukan di tempatnya bekerja karena fokus dari pendirian usaha ini bukanlah layanan akses internet seperti yang terpampang di papan depan. Melainkan bisnis lain yang dijalankan di lantai dua.

Pemilik tempat menyebut mereka tim pekerja khusus. Sekelompok beranggotakan lima orang, termasuk dirinya dan Dani. Berawal dari ketertarikan yang sama terkait teknologi komputer, mereka memanfaatkan keahlian itu untuk mencuri data orang lain dan mengambil keuntungan dari sana. Menggunakan identitas orang lain untuk manarik uang atau pinjaman dan beberapa kegiatan lain yang merugikan pihak korban. Namun, Sian memilih menutup mata. Ia tidak peduli dengan apa yang ia kerjakan asalkan mendapatkan imbalan yang setimpal.

Sian bangkit dari duduk. Berniat meninggalkan meja depan dan meminta teman lain untuk menggantikannya. Bersamaan dengan itu, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ia mengernyit ketika nama sang kakak terpampang di layar ponselnya. Kali terakhir dirinya mendapat telepon dari Viola saat kematian sang ayah. Sosok itu jarang melakukan panggilan, kecuali dalam kondisi benar-benar penting.

"Halo, Yan ...."

Sian dapat mendengar nada sumbang dari seberang. Getaran dalam suara sang kakak begitu jelas menyiratkan ketidakwajaran.

"Yan, tolong gue!"

Tenggorokan Sian terasa kering. Air muka remaja lima belas tahun itu sontak berubah. Hilang kernyitan di dahinya terganti oleh kekhawatiran yang nyata. "Di mana?" gagapnya. Ia paksa kata itu keluar dari bibir yang mendadak pucat.

Nusa SagaraWhere stories live. Discover now