INTUISI : 24

59 4 0
                                    

"Ben, ada yang mau gue omongin." Ucap Kafka tiba-tiba dengan raut wajah serius.

"Soal?" Tanya Bentang sambil menutup resleting tenda dari luar.

Kafka mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Nggak disini, ikut gue."

"Disini aja lah, gue gak bisa ninggalin Kinara sendirian di tenda." Sahut Bentang setengah berteriak karena Kafka yang sudah melangkah lumayan jauh.

Kafka akhirnya putar balik, dan berjalan mendekati seorang siswi melewati Bentang. "Cla, gue titip Kinara sebentar ya. Anaknya lagi tidur di tenda." Kafka menunjuk tenda di dekat Bentang. "Kalau ada apa-apa hubungin gue atau Ben." Lanjutnya yang dibalas anggukkan mantap Clafandra.

"Udah kan?" Kafka menatap Bentang dengan sorot mata dingin.

Bentang akhirnya berjalan mengikuti Kafka hingga keduanya berhenti di bawah pohon rindang tempat Kinara meneduh siang tadi.

"Lo mau ngomong apaan sih? Serius amat keliatannya." Kata Bentang sambil cengengesan.

Ya, meskipun Kafka bukan teman dekat Bentang. Tapi mereka cukup sering bertemu dan berinteraksi jadi Bentang bisa lebih enjoy untuk sekedar mengobrol dengan Kafka.

"Ben, ini soal Kinara."

Mendengar nama itu Bentang seolah sudah biasa saja. Ya sudah lumrah lah kalau seorang Kafka membahas soal sepupunya. Bahkan dedaunan yang sekarang mereka pijak pun pasti tau sebucin apa Kafka terhadap Kinara.

"Apa? Apa lagi yang mau lo tanyain ke gue soal dia? Gue akan jawab tapi dengan syarat ya." Canda Bentang tanpa memperdulikan tatapan Kafka yang tajamnya seperti pedang perang.

"Ini serius, Ben."

Bentang lantas tertawa sebentar. "Okay, I'm sorry, Kaf."

Kafka mengangguk lalu mengambil posisi duduk yang diikuti begitu saja oleh Bentang.

"Gue langsung to the poin aja. Kinara itu nyimpen perasaan sama lo, Ben. Apa lo pernah sadar soal itu?"

"What?" Bentang masih tertawa meski tak bisa di pungkiri jika dia sedikit terkejut mendengar fakta barusan.

Hanya sedikit, karena sebelum Kafka memang ada beberapa temannya yang sempat menyinggung perihal itu. Tapi Bentang tidak menanggapinya dengan serius, ia menganggap jika itu hanya penilaian pribadi orang-orang yang tidak memiliki dasar.

"Lo aneh-aneh, Kaf. Kinara itu adek gue mana mungkin sih." Ben membantah.

"Come on, Ben! Lo jangan naif gini. Perasaan itu nggak pernah mandang apa pun. Jangankan elo yang cuman sepupuan doang, yang kandung aja bisa saling jatuh cinta."

Bentang menggelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha menepis semua ucapan Kafka yang menurutnya terdengar seperti sebuah ceerita dongeng.

"Tunggu deh. Alesan lo tiba-tiba ngomong kaya gini tuh apa? Oh enggak, tujuan lo?"

Kafka menatap Bentang serius sekali. "Lo emang nggak ngerti atau pura-pura bego sih, Ben?"

"Gue beneran nggak paham sama arah pembicaraan lo, Kafka. Poin yang mau lo sampein sama gue sebenernya tuh apa? Lo bertele-tele dari tadi."

"KINARA CINTA SAMA LO BANGSAT! ITU POIN NYA"

Bentang terkejut? Tentu saja. Kalimat yang terdengar tabu di telinganya bisa terlontar dengan lantang dari mulut seorang Kafka.

Bentang menggeleng. Masih berusaha menepis semua fakta yang tiba-tiba memenuhi seluruh isi kepalanya. "Tapi ini nggak seharusnya terjadi, Kaf. Gue sama Kinara itu__"

INTUISIWhere stories live. Discover now