XII.

659 37 0
                                    

Renjun tidak tahu apa yang terjadi ketika temannya menelpon dengan nada sesengukan seperti sedang menangis. Alhasil buru-buru dia menuntaskan pekerjaannya dan bertandang ke lokasi yang sudah disebutkan. Menekan bel sebuah aprtemen dan buru-buru disajikan pemandangan mengenaskan seorang Lee Haechan yang tidak seperti biasanya.

"Apa yang terjadi?" Renjun sengaja mengusap bekas air mata di wajahnya. Memandangi keadaan rumahnya yang tampak masih sepi. Hingga matanya terpaku pada sesuatu benda berbentuk pipih panjang tergeletak di meja. Menampilkan dua garis merah di atasnya.

"Kau hamil?" Tanyanya sedikit terkejut. "Selamat Hae—

"Aku harus menggugurkannya Renjun. Bantu aku, aku tidak bisa hamil sekarang."

Renjun nampaknya harus menarik napas panjang dengan reaksi Haechan yang tiba-tiba. Mengedepankan emosi bukanlah gayanya dalam berbicara. Jadi dia memutuskan duduk lebih dulu dan menarik Haechan dalam obrolan.

"Baiklah, apa yang kau pikirkan sekarang?"

"Renjun tolonglah. Bulan depan aku harus menandatangani kontrak soundtrack drama terbaru. Yuta juga menawarkan lagu bagus untukku. Aku harus kembali menyanyi."

"Ku pikir kau sudah berhenti menyanyi?"

"Aku benar-benar berhenti jika seluruh dunia tahu kehamilanku." Nada frustasi itu keluar dari mulutnya.

Memang tidak semestinya seseorang bisa menjauhkan Haechan dengan kegemaran dan bakat alaminya termasuk Jeno. Haechan tetaplah Haechan yang mengambil celah dari sebuah kesempatan. Ketika dia berpikir sudah menjadi istri yang baik, bisa memasak dan mengurus rumah tangga, Jeno pasti akan memberikan celah untuk menyanyi.

Hanya sebatas istri yang baik, bagaimana pun Haechan belum siap menjadi ibu.

"Haechan apa salahnya hamil?" Renjun mengelus punggung itu lembut.

"Bisakah kau membayangkan, ada sesuatu di perutmu. Dan itu bergerak. Membuatku sering muntah-muntah. Terlebih itu membuat berat badanku naik. Aku mohon Renjun bantulah aku."

Disini Renjun lupa bahwa Haechan adalah seorang tokophobia alias mempunyai ketakutan pada kehamilan. Hal itu sudah dia prediksi sejak awal bagaimana temannya itu selalu menyetok pil atau kontrasepsi. Ketika ditanya mengapa, alasannya karena dia belum siap memiliki anak.

Tidak sulit menyembuhkan sebuah phobia. Hanya membutuhkan waktu dan tekat kuat.

"Aku akan membantumu asal tidak membunuh bayi itu." Jawabnya lembut.

Haechan masih menggeleng. "Sadarlah Haechan, dia anakmu. Buah cintamu dengan Jeno. Sama seperti dirimu yang menjadi buah cinta orang tuamu. Bayangkan jika kau diperlakukan sama oleh orang tuamu dulu. Jika kelahiranmu tidak diinginkan, kau tidak akan tumbuh sampai sekarang."

Pernah Haechan berpikir adanya sosok Ibu pengganti jika seandainya mereka berdua berniat memiliki anak. Hal itu tidak sampai digubris oleh Jeno karena dia pikir hanya bercanda. Lagi pula Jeno juga sama seperti dirinya. Tidak terlalu terobsesi memiliki anak.

"Kau sudah memberitahu Jeno?" Tanya Renjun lagi.

"Dia masih dalam perjalanan pulang dari Eropa."

"Di Eropa? Bukankah Jaemin juga di Eropa?" Haechan mengangguk bak hal itu tidak ada masalah. Tapi beda lagi bagi Renjun yang sudah mengetahui segalanya.

Astaga. Benar-benar keterlaluan mereka berdua. Rasanya Renjun ingin mengumpat saja dan membongkar perselingkuhan mereka di depan pasangan masing-masing. Di hari yang penting ini, harusnya Jeno menjadi orang yang pertama dihubungi istrinya. Menenangkan kepanikannya, bukannya bersenang-senang bersama selingkuhannya.

MARRIAGE VOYAGE (NOMIN- MARKMIN) REPUBLISHWhere stories live. Discover now