Tiga

575 80 7
                                    

Asap dari kopi panas mengepul bersamaan dengan ketukan pensil mengenai meja. Gabbie berusaha mencerna ide di kepalanya, kemudian menuangkannya menjadi goresan-goresan di kertas. Profesi yang selalu dia tekuni dengan baik sebagai perancang busana.

Saat hari kerja, biasanya Gabbie hanya berdiam di studionya; rumah, juga tempat Gabbie bekerja. Lalu saat hari libur, Gabbie akan ke butik untuk menemui klien, sesekali ke tempat produksi; tempat di mana busana dibuat.

Setelah seminggu sepulang dia dari Singapura, hari-harinya terasa tenang. Tidak sepenuhnya tenang karena dia sempat memburuk kondisi kesehatannya.

Gabbie sedang asyik berpikir untuk dibuat apa tekstil silk motif bunga yang dibelinya di Singapura kemarin. Sesekali Gabbie melirik ke arah jam, biasanya Nadi akan berkunjung ke sini, namun tak ada tanda-tanda Nadi akan datang.

Akhirnya Gabbie memakan toast dan kopi yang telah dibuatnya, sambil menyelami sosial media. Tak ada yang menarik dari sosial media yang digulirnya. Baru saja mematikan layar ponselnya, ada panggilan dari Nadi.

"Halo kak, lagi di mana?" Tanya Nadi dalam sambungan, seharusnya Nadi tahu Gabbie selalu ada di studio saat hari-hari biasa.

"Di studio, Nadi mau ke sini?"

"Kak, nenek Kak Gabbie dateng ke sini dan sekarang beliau lagi liat-liat gaun."

Deg.

Gabbie sudah menduganya, namun dia tak mengira akan secepat ini. Sang nenek tidak mungkin akan mengobrak-abrik butiknya, kan?

"Nadi denger baik-baik sambil dicatat ya. Tolong kamu hubungi kafe di depan, kirim two dozens of mix pastry. Terus pesen one teapot set herbal tea without peppermint and sugar. Pakai debit aku di laci kedua di selipan. Okay? Thank you, I'll be there in half an hour."

"Siap kak, hati-hati di jalan." Balas Nadi kemudian mematikan panggilan.

Gabbie bergegas memakai loose pants high waist-nya kemudian mengambil cardigan dan tas selempangnya. Jangan lupakan fakta bahwa dia belum mandi pagi ini.

Di sela kemacetan, Gabbie masih bisa menyisir rambutnya dan menyemprot cairan agar rambutnya tak lepek, liptint berwarna oranye yang dipolesnya, juga minyak wangi yang disemprotkan ke seluruh tubuhnya.

Setelah tiga puluh menit berlalu Gabbie sampai di butiknya, cardingannya sudah dikancing sempurna menutupi dadanya.

Gabbie bisa melihat oma-nya sedang terduduk sembari membaca katalog busana milik butik dengan anggun. Oma yang menyadari kehadiran Gabbie langsung berdiri dan menghampiri Gabbie.

"Oma, aku kangen." Ucap Gabbie sembari memeluk oma-nya. Setelahnya oma mengetuk kepala Gabbie pelan.

"Kamu, anak perawan belum mandi jam segini. Udah jam berapa sekarang? Kamu mau rezeki kamu dipatok ayam?" Nasihat oma yang sudah sering Gabbie dengar.

Gabbie hanya mengangguk saja. Boro-boro dipatuk ayam, Gabbie bahkan belum tertidur malam ini. Lagipula, kenapa oma-nya yakin kalau Gabbie masih perawan?

"Ayo duduk dulu." Ajak oma sambil merangkul Gabbie.

"Oma kenapa repot-repot ke sini? bulan depan kan aku ketemu oma. Aku udah bilang sama Haru."

"Oma mau lihat perkembangan bisnis kamu."

Gabbie mendengus kesal, butiknya bukanlah ladang bisnis, walaupun kenyataannya adalah bisnis. Akan tetapi, butiknya berbeda dari bisnis perusahaan yang dijalani oma dan opa-nya. Gabbie tahu sedikit tentang perusahaan opa, karena saat kuliah Gabbie ikut bekerja di sana. Kemudian, setelah lulus kuliah Gabbie mengundurkan diri dari perusahaan opa lalu terbang ke Perancis. Hingga detik ini Gabbie tak kepikiran untuk kembali ke perusahaan opa.

SESALWhere stories live. Discover now