Tujuh Belas

263 31 3
                                    

Sebuah papan kayu menopang tubuhnya terayun mengudara saat sang ayah mendorongnya. Sepoi angin laut membawa kain midi dress-nya berkibar juga senyumnya secerah mentari. Berkali-kali air berkecipak dan membasahi baju ayahnya saat dia melompat dan berlari.

Gadis kecil yang berlarian kemudian ditangkap dan diangkat mengudara oleh kokoh tangan ayah bak pesawat terbang. Sang ibu yang menatap dari kejauhan membawa dua kelapa muda dari pohonnya. Hari-hari yang menenangkan di pantai pasir putih dengan biru air laut menderu merdu.

Namun kala ada tepukan di pundaknya Gabbie terbangun. Dia kembali sadar kalau wisatanya tadi adalah mimpi.

"Lo udah pulang? gue bawa hoodie sama celana yang kemarin gue pinjem." Ujar Gabbie yang baru terbangun sambil mengucek matanya. Namun beberapa saat kemudian Gabbie tersadar bahwa dia tidak sedang di sofa, hoodie dan celananya tidak ada di atas meja.

"Lo udah ambil? Tadi gue taruh di meja." Lanjutnya lagi beranjak dari kasur. Sebenarnya sudah berapa lama Gabbie tertidur di sini hingga selimut membungkusnya.

"Pulang gih ke studio lo." Ujar Ayden.

"Sorry ya gue ketiduran, makasih buat hoodie dan celananya. Udah gue cuci kok. Gue pulang dulu." Balasnya.

Gabbie melangkahkan kaki sambil mengedarkan pandangan ke ruang yang sepi tanpa satupun barang Alen di sana.

"Lo udah mau pergi?" Tanya Gabbie beralih menghadapnya.

"Setelah anter lo ke studio." Balas Ayden ditanggapi anggukan kepala oleh Gabbie.

Gabbie melangkahkan kaki ke luar ruangan dan berjalan melewati lorong berdua dengannya.

"Kondisi lo gimana?" Tanya Gabbie basa-basi. Pasalnya dia ingat kondisi Alen setelah mimpi buruk itu.

"Gue sehat." Balas Ayden lagi.

Mereka masuk ke dalam elevator dengan hening. Suasananya cukup canggung, apakah ini karena Gabbie memergoki Alen yang tengah mimpi buruk? Biasanya Alen yang selalu mengajaknya bicara. Atau mungkin karena Gabbie menyesap bibir Alen yang terluka? Gabbie tidak tahu bagian mana yang membuat mereka menjadi canggung.

Saat ke luar elevator tangan Gabbie ditarik, Gabbie menoleh dengan wajah yang bingung.

"Studio lo ke sebelah sini." Ujarnya.

"Biasanya juga lewat sini." Balas Gabbie kebingungan.

"Oh bisa lewat situ, ya udah." Ujar Ayden.

Ayden melangkahkan kaki ke arah yang ingin Gabbie ambil tadi. Namun Gabbie terdiam, dia menyadari bahwa yang bersamanya saat ini adalah Ayden bukan Alen. Seharusnya Alen tahu ruang basement harus turun melalui tangga. Dia merutuki kebodohannya, dia seharusnya tahu kalau kemarin wajah Alen masih terdapat lebam. Kenapa dia bisa cepat melupakannya?

"Ayden." Panggilnya memastikan.

Ayden menoleh membuat Gabbie mengembuskan napasnya pelan. Kalau saja Alen tidak lebam wajahnya, mungkin Gabbie akan menganggap Ayden sebagai Alen. Bagaimana caranya membedakan mereka? Apalagi saat Alen mengenakan wig hitam, dia terlihat sangat mirip dengan Ayden.

"Kita lewat sini aja, maaf gue ngelantur." Lanjut Gabbie memilih jalan yang biasa dia lewati saat ke studio.

Ayden mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

"Alen di mana?" Tanya Gabbie.

"Udah pergi." Balas Ayden singkat.

Gabbie menyurai rambutnya ke belakang, hatinya sedikit aneh saat mendengar kalimat itu. Hari ini Alen pergi tanpa berpamitan dan mungkin memang lebih baik Alen pergi tanpa menemui dirinya. Agar mereka sama-sama melupakan kejadian-kejadian yang lalu.

SESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang