Sepuluh

311 41 5
                                    

Kertas yang bergesekkan itu menimbulkan suara di ruang sepi pada pukul delapan malam. Mata gadis itu enggan menatapi kalimat demi kalimat yang membuat kepalanya pecah. Menurutnya, kenapa dia harus mengurusi permasalahan orang lain kalau dia memiliki permasalahannya sendiri?

Katherine percaya kalau Ayden menemui Gabbie karena memesan sebuah gaun pernikahan untuknya, namun apakah itu mungkin? Ayden selalu menolak membicarakan tentang pernikahan bersamanya, tapi jika ayahnya bertanya dia langsung menjelaskan secara rinci.

Lagipula Ayden bilang dia mengantarkan undangan, namun Gabbie merasa tak mendapati undangan itu? Apakah Katherine harus menanyakannya ke Gabbie sendiri undangan apa itu? Bagaimana kalau undangan itu adalah pertemuan dua keluarga mereka?

Seharusnya Katherine percaya saja dengan ucapan sang ayah untuk melepaskan Ayden, tapi Katherine mencintainya atau Katherine hanya takut kesepian saat dia ditinggal Gabbie kala itu?

"Aw! Dingin!" Pekik Katherine langsung menoleh mendapati es kopi yang menempel di pipinya, sedang yang usil itu tertawa dan kegirangan melihat Katherine yang kesal.

"Gak usah dipikirin nanti cepet tua!" Ujarnya lalu menaruh kopi di meja kerja Katherine.

"Kita gak sedeket itu buat lo kasih kopi ke gue." Sanggah Katherine.

"Berarti kamu pengen kita deket, biar saya bisa kasih kopi setiap hari?" Ujarnya.

"Jangan gangguin gue." Ucap Katherine kemudian mengambil pulpen dan memberi tanda yang harus dia ubah pada kertasnya.

Laki-laki itu terduduk di hadapan Katherine yang berusaha fokus walaupun dia nampak ingin rehat.

Cekrek.

Suara kamera dari ponsel membuat Katherine menoleh lagi ke arah laki-laki yang kini memotret tubuh mereka berdua.

"Ih apaan sih!" Ucap Katherine tak suka. Seperti biasa laki-laki itu hanya tersenyum dengan senyum lebarnya seolah hal sekarang dan yang lalu-lalu bukanlah hal besar baginya.

"Done, sudah saya kirim ke ayah kamu." Ucapnya.

Laki-laki itu sontak menopang dagu memperhatikan gadis yang menarik perhatiannya, karena dia sudah muak sendiri mendengar ayahnya membanggakan putri semata wayangnya. Dia jujur tidak suka harus dijodoh-jodohkan, namun tak ada salahnya mendekati gadis jelita yang ada di hadapannya.

"Kenapa sang puteri yang cantik jelita ini masih di firma malam-malam, hmm?" Tanya laki-laki itu sembari memperhatikan wajah Katherine yang tertekuk membaca kertas-kertasnya.

"Belum malam." Ujar Katherine singkat.

"Tapi menurut baginda sudah malam sampai harus menghubungi saya." Ujarnya.

"Juan stop bilang kaya gitu! Dan jangan ikutin apa yang ayah gue mau!" Serunya.

Juan tersenyum singkat saat Katherine bergegas membereskan kertasnya.

"Hubungan kita ternyata udah sedekat itu sampe kamu panggil lo-gue sama rekan kerja kamu yang lebih tua dua tahun, hmm?" Tanya Juan menyenderkan tubuhnya di kursi. Dia mengangkat kaki kanannya sembari memperhatikan Katherine yang sedang kesal sendiri.

"Kath, jangan terbawa perasaan." Ujarnya lagi.

"Perasaan apa? saya gak pernah bawa perasaan sama Pak Juan." Ujar Katherine. Juan tertawa mendengarnya, rasanya Katherine mengartikan salah kalimatnya.

"Maksud saya, kalau kamu lagi bedah kasus jangan bawa perasaan. Jangan saling tumpang tindih antara masalah kamu dengan masalah yang kamu kerjakan." Jelasnya membuat Katherine salah tingkah, dia pikir mereka sedang membahas hubungan mereka berdua.

SESALWhere stories live. Discover now