🍁 Chapter 10

49 8 0
                                    

Minho masih meringkuk di posisi yang sama. Sayapnya juga belum kembali—kedua benda itu juga masih terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya. Wajahnya sudah kembali basah dan tatapan dari maniknya yang berubah menjadi hijau itu masih menatap nanar tanah penuh dedaunan kering di depannya.

Ingatannya kembali berputar pada hal yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Bersamaan dengan itu, gaungan kalimat yang Chris ucapkan saat mencekiknya tadi kembali terdengar.

Kejadian itu masih sangat membekas. Minho ingat benar apa yang terjadi saat ini—ia tak bisa melupakannya sampai akhir hidupnya. Sayap sebelah kirinya yang menjadi korban lain pada kejadian itu masih sering berdenyut nyeri. Kejadian itu benar-benar memukul habis hatinya yang sudah terluka sejak lama. Ia bahkan masih sering meneteskan air mata ketika kejadian itu kembali berputar dalam kepalanya.

“Kau pembunuh dan kau harus mati. Kau membunuh ibuku.”

Salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas, Minho lalu terkekeh kecil saat kalimat yang Chris ucapkan tadi kembali terdengar di telinganya. Mengiringi kekehan itu, air mata yang sejak tadi ditahannya meluncur begitu saja. Di detik setelah air matanya jatuh, axeldian itu mendongak dan menatap semua pohon yang ada di sekilingnya.

“Kalian dengar? Dia mengatakan itu lagi.” Penyihir bersayap itu lalu bergumam samar. Maniknya kembali bergerak untuk menatap lurus ke depan. “Aku yang terluka untuk ibunya saat itu. Tapi dia terus menyebutku sebagai pembunuh. Lalu kenapa kalian begitu ingin melibatkannya? Memangnya dia siapa?”

“Axeldian?”

Minho tidak yakin pohon mana yang bersuara lebih dulu setelah ia mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Ia juga terlalu malas untuk mendongak dan mencari asalnya. Selama telinganya masih terus menangkap kalimat yang dikatakan para pohon itu, ia tak akan mempermasalahkannya.

“Dia seperti itu bukan tanpa alasan. Ada yang membuatnya jadi seperti itu.”

“Lalu, kenapa kalian peduli?” Tidak tahan tetap menatap ke depan, Minho akhirnya mendongak dan menatap kembali pohon-pohon di sana. “Kenapa kalian peduli padanya sedangkan padaku tidak? Memangnya dia siapa?”

Tidak ada jawaban yang axeldian itu dapat. Nyatanya, hanya dahan pohon yang bergerak membuat ia mendengus malas. Tangannya lalu bergerak naik untuk menghapus jejak air mata yang tertinggal dengan kasar.

“Inilah kenapa aku benci terlahir sebagai axeldian. Kalian selalu mengatakan bahwa aku yang menutup mata dengan semua keadaan di sini. Tapi lihat apa yang kalian lakukan? Kalian yang tidak peduli padaku.”

Mengusap wajah dan surainya kasar, Minho akhirnya menumpuhkan kedua tangannya ke atas tanah. Ia lalu berusaha bangkit dari posisinya saat ini—mengabaikan sayapnya yang masih terkulai lemas dan enggan masuk kembali ke dalam tubuhnya.

Tidak, bukan Minho yang tidak menarik kembali sayap itu. Nyatanya, satapnya memang terlalu lemah dan tidak bisa ia kendalikan sesuka hatinya. Entah kapan ia bisa menutup kembali sayap itu, Minho juga tak peduli saat ini.

“Axeldian? Bisakah kau dengarkan kami sekali ini saja?”

Suara yang tadi menyapanya lebih dulu kembali terdengar. Sang axeldian yang sudah mengambil langkah maju terpaksa menghentikan gerakannya. Bukan Minho ingin mendengar mereka. Ia hanya ingin memperingatkan mereka untuk tidak mencoba mengusiknya.

“Sudah kubilang untuk tidak mengusikku! Kalian semua ingin kutidurkan seperti ekaliptus sialan di belakang menara sana?”

“Lalu, apa kau akan benar-benar menghancurkan dunia dengan keegosianmu itu, axeldian?”

“Kenapa tidak? Dunia bahkan tidak peduli untuk menghancurkanku sejak awal. Lalu, kenapa aku harus peduli jika dunia juga hancur?”

“Tapi, axeldian, penyihir hitam itu—”

DOMINUS AXELDIANWhere stories live. Discover now