🍁 Chapter 12

38 7 0
                                    

Hari sudah malam saat Juyeon keluar dan mengambil tempat untuk duduk di sebuah bangku kayu di bawa pohon apel yang ada di depan rumahnya. Ia merasa benar-benar asing saat ia bangun tadi dan menemukan bahwa hari sudah berganti dan besok diri hari ia sudah harus kembali ke akademi. Juyeon sungguh tidak tahu apapun—pikirnya ia tidur saat baru tiba dari akademi dan kenapa ia bangun saat hari sudah akan berganti lagi? Sebenarnya, apa yang sudah terjadi padanya?

Masih duduk di bangku dalam diam, Juyeon lemparkan tatapannya ke sebelah kiri rumahnya—di mana rumah Kevin berdiri kokoh di sana. Penyihir aqausera itu kembali mengerutkan keningnya. Saat ia bangun tadi dan menanyakan tentang salah satu sahabatnya itu pada ayahnya, pria itu hanya menyebutkan bahwa Kevin dan Chanhee sama sekali tidak datang. Oh, bahkan Juyeon masih ingat jika mereka punya janji untuk pergi ke kediaman nyonya Kang.

Lalu, kenapa dua sahabatnya itu tidak datang?

Dan sekarang?

Kevin sama sekali tidak terlihat. Biasanya, peri charusmitadian itu akan duduk di teras rumahnya dan berbagi cerita dengan adiknya. Lalu, ke mana sahabatnya itu sekarang?

Apa Kevin sudah kembali ke akademi sore tadi? Tapi kenapa peri itu pulang sendirian tanpa menunggunya? Mereka selalu pergi dan pulang akademi bersama—dengan Chanhee juga.

“Hei, bung.” Saat Juyeon larut dalam pikirannya sendiri, sebuah suara yang tak asing terdengar—bersamaan dengan sebuah tepukan pelan pada pundak kanannya. Saat ia mendongak, saudara kembar axeldian itu menemukan ayahnya dan Minho yang berdiri menjulang di sisi bangkunya. Pria itu nampak tersenyum lembut seperti biasa. “Tidak ingin masuk untuk makan malam?”

Tidak ada jawaban yang Juyeon berikan. Ia hanya menatap ayah mereka itu lebih lama dan kembali menatap ke hamparan bunga edelweis yang tumbuh di depannya—membuat sang ayah jadi mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. Hamparan bunga edelweis di halaman depan rumah mereka itu adalah hasil karya mendiang ibunya dan Minho. Axeldian cantik itu menanamnya saat usia Juyeon dan Minho menginjak tujuh bulan. Wanita itu memilih menanam edelweis untuk menghias halaman rumah mereka untuk mengingat hari lahir anak-anaknya—yang memang lahir di hari edelweis. Lalu, setalah wanita itu meninggal, bunga-bunga itu dirawat oleh sang kepala keluarga.

“Bagaimana keadaanmu?”

Di antara kegiatannya memikirkan tentang asalnya bunga cantik yang tumbuh di halaman rumah, Juyeon ditarik kembali oleh pertanyaan yang ayahnya ajukan. Penyihir aquasera itu tidak langsung menjawab dan memilih untuk menatap ayahnya lebih dulu.

“Memangnya aku kenapa?” Lalu, bukannya menjawab pertanyaan yang sang ayah ajukan, saudara kembar axeldian iru malah mengajukan pertanyaan lain.

“Jelas hanya kau yang tahu.” Jawaban itu diberikan sang ayah dengan cepat. “Ayah sempat khawatir saat kau tidak bangun sejak tidur kemarin sore. Ayah sempat ingin membangunkanku dengan paksa. Tapi, ayah pikir kau pasti tidak tidur dengan benar selama di akademi sehingga ayah membiarkanmu saja. Lagi pula, saat ayah lihat, kau baik-baik saja.”

“Kalau sudah lihat aku baik-baik saja, kenapa ayah masih harus menanyakan keadaanku?”

“Ayah hanya ingin memastikannya padamu.”

Juyeon tidak menjawab. Tatapnnya masih terpaku pada tanaman edelweis di depan sana. Pikirannya kini tak lagi mengenang masa lalu bersama sang ibu. Ia kini lebih memikirkan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidur begitu lama dan apakah benar sahabatnya tidak datang mencarinya?

“Ayah?” Memilih memanggil sang ayah, Juyeon lalu arahkan manik sewarna langit malamnya untuk bertemu manik ayahnya. Pria itu sudah menatapnya lagi. “Apa Chanhee dan Kevin tidak datang mencariku kemarin sore dan siang tadi?” Tanyanya kemudian.

DOMINUS AXELDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang