◇ Bab 3: Asher

30 17 30
                                    

Tidak ada keramaian seperti desa atau kota. Daun pepohonan sudah mengering dan layu. Menyisakan ranting-ranting kering tanpa tanda kehidupan. Di antara pepohonan kering, ada sebuah rumah kayu tua yang sudah lama ditinggalkan.

"Tempat ini akan menjadi rumahmu," ucap Count sambil turun dari kereta kuda lain yang lebih mewah. Pria berbaju hitam yang sebelumnya Asher lihat juga berada di samping sang Count, melemparkan belati ke tanah. Asher menatap kosong belati itu.

"Mulai hari ini, kau ... akan bekerja sebagai pembunuh bayaran."

***

"Apa maksud anda, Count?" tanya Asher sambil membenarkan posisinya. Rasa perih mulai menyebar di bagian tubuhnya. Sedikit darah keluar dari luka gesek di pergelangan kaki dan tangan Asher akibat permukaan tanah yang kasar. Akan tetapi, itu tidak membuat Asher gentar ataupun takut.

"Kau, memiliki potensi." Count itu mengangkat bahu acuh. Sebuah jawaban yang sangat simple.

Orang gila batin Asher mempertahankan ekspresi sedatar mungkin. Asher tidak habis pikir apa yang ada di otak orang itu.

"Orang di samping saya akan menjadi pelatihmu. Jangan pernah berpikir untuk kabur atau nyawamu melayang. Paham?" Count mempertegas maksud dengan entakan tongkat panjang miliknya yang dibawa bersamaan saat turun dari kereta.

Asher mengangguk. Mata yang sebelumnya bersinar kini menjadi redup. Dia berharap setidaknya akan menjalani hidup yang normal, tapi Count ini membuatnya tidak berpikir demikian. Sudah puas melihat Asher, Count menyeringai.

Count pun kembali ke kereta kuda dan memerintah sang kusir untuk menuju kekediamannya.

Asher diam menatap kepergian kereta mewah dari belakang hingga benda itu tak terlihat lagi.

***

Sudah tak terhitung berapa lama Asher telah berada di tempat ini.

Sehari, dua hari, hingga tak terhitung lagi. Terkurung dalam rumah yang tidak lebih dari seonggok kayu. Asher percaya bahwa ia mampu melewatinya.

Namun, kepercayaan itu sedikit demi sedikit terkikis. Pelatihan intensif. Tidak ada tempat istirahat yang layak. Air sumur di depan rumah itu sudah mengering. Baju yang dia kenakan sehari-hari hanya dipakai berulang.

Cahaya matahari tak bisa masuk dengan benar ke dalam rumah. Jendela tertutup rapat menyisakan Asher meringkuk di pinggir ruangan yang gelap.

Tidak ada kekuatan di sana sama sekali. Perutnya terus berbunyi.

Sedikit angin masuk dari sela pintu yang terbuka. Pelatih Asher membawakan semangkuk sup. Ditinggalkannya atas meja. Kemudian pergi keluar lagi.

Rasa lapar menggerakkan tubuh Asher. Sup itu sudah tidak layak sebagai makanan. Warna sudah berubah, beberapa bagian menjadi seperti lendir, dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap.

Asher tidak peduli. Yang dipikirkannya dia harus makan untuk bertahan hidup. Tidak terasa, hari-hari pun terlewati begitu saja.

Sekali-kali Count mengunjungi Asher untuk melihat proses pelatihannya. Sebagai pembuktian, Asher harus mengalahkan pelatihnya. Bila Asher kalah dalam sparing, ia akan diberi hukuman, yaitu cambuk oleh Count di bagian punggung. Asher tidak bisa melawan. Penjagaan Count sangat ketat. Bisa-bisa nyawanya melayang duluan.

Semua kesengsaraan yang Asher rasakan membuatnya berpikir bahwa ini neraka sesungguhnya. Dendam Asher pada Count bertumbuh besar. Pribadi hangat yang dulu ada kini sudah menghilang. Sekarang Asher hanya akan merendah dan fokus untuk mengatur siasat. Dia ingin keluar dari tempat mengerikan itu secepatnya.

***

Tring ... decitan kedua benda tajam saling memenuhi ruangan. Barang-barang dalam rumah berhamburan ke sana kemari. Tersisakan kedua orang yang sibuk beradu. Goresan diantara tubuh kedua pria itu bermunculan seiring berjalannya waktu.

"ASHER. Kau pikir bisa mengalahkanku?" ujar sang pelatih sambil menahan serangan dengan posisi Asher yang berada di atas tubuhnya. Kemampuan Asher memang jauh berkembang melebihi ekspetasinya. Namun, pelatih percaya bahwa kemampuan dirinya masih unggul daripada Asher.

Seringai timbul dari wajah Asher. Tangan kosong Asher menyelinap ke saku dan mengambil belati cadangan miliknya. Pelatih sadar apa yang akan Asher lakukan. Dia meronta-ronta. Namun, itu tidak meloloskannya dari maut yang akan datang. Teriakan pun terdengar. Tubuh lawan yang semula hangat berubah jadi dingin. Cairan berwarna merah pekat menyembur dan mengenai Asher.

Pisau yang tadi Asher pegang sudah tertancap di dada pria itu.

"Ha ...." hela Asher. Dia mengelap cipratan darah yang mengenai pipinya. Asher mencabut pisau dari dada pria tak bernyawa itu.

Baju yang penuh dengan corak kemerahan Asher lepaskan. Dia mengambil pakaian bersih yang tersedia. Pisau yang berlumuran darah Asher lap dengan baju kotornya.

Baru kemarin Count datang berkunjung. Jadi Count tidak akan kembali untuk sementara waktu. Kesempatan ini tidak Asher sia-siakan. Asher yakin Count tidak akan melapor pada penjaga keamanan karena Count pun sudah menjadi incaran mereka sedari lama. Dia sangat pandai berkelit. Informasi ini didapat dari pembicaraan beberapa penjaga yang mengawal Count secara tidak sengaja.

Asher mengambil tas perlengkapan, uang koin, dan jubah tergantung punya si pelatih. Akhirnya, setelah 3 tahun lebih berlalu Asher dapat keluar dari rumah itu. Tidak lupa baju berlumuran darah miliknya ia kubur jauh dari sana.


***

Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Asher menemukan sebuah kota kecil sebagai tempat singgah di malam hari. Suara-suara keramaian yang sudah lama tidak ia dengar kini muncul kembali. Banyak orang berlalu-lalang di tengah kota menari bersama. Tampaknya sedang ada festival kecil. Asher memegangi kuat tudung hitamnya. Demi mengurangi kecurigaan orang-orang, dia memilih untuk melewati jalan-jalan gang sempit yang sepi.

Di ujung jalan tersebut, Asher mendapati sebuah kedai di sana. Penerangannya remang-remang. Kedai ini tidak terlalu ramai mungkin karena sebagian penghuni kota sedang menikmati acara di balai, tapi masih ada beberapa pengunjung berkumpul untuk minum bir. Asher rasa ini adalah tempat singgah yang cocok untuk beristirahat sejenak.

Asher membuka pintu kedai pelan. Terdengar tawa keras dari salah satu meja dua orang pria yang sedang asyik bercakap-cakap menikmati waktu minum mereka.

"Hei, kamu dengar? Marquis Rognvaldr sedang mencari anaknya," ucap salah satu pria dengan kencang.

Mendengar sebuah informasi yang menarik, Asher duduk di salah satu meja dekat mereka dan memesan makanan dengan persediaan uang yang telah diambil.

"Masalah itu lagi? Berita lama," sambung pria lainnya.

"Tapi aneh juga ya, sudah hampir 15 tahun. Masih tidak ketemu padahal ciri-cirinya juga sudah ada," ujar pria yang sebelumnya membuka pembicaraan sambil meneguk satu penuh gelas bir.

"Mati kali."

Temannya langsung meletakkan gelas kaca terburu-buru. Ia menutup mulut tidak sopan pria itu dan celingak-celinguk memastikan keadaan.

"Kau, apa kau bodoh? Bagaimana jika ada seseorang dari sana ada di sini? Jaga mulutmu bila ingin lehermu tetap tersambung," bisik temannya mengingatkan.

Walau perkataan terakhir nyaris tidak terdengar, tapi Asher masih bisa tahu karena ia duduk di dekat meja kedua orang itu. Pembicaraan kedua pria itu mengusik Asher. Ada hal yang janggal terlihat di sana.

"Makanannya." Sebuah mangkuk berisi sup sudah tiba membuyarkan Asher. Asher teringat akan sup tidak layak yang pernah dimakannya dulu. Asher terus mengingatkan dirinya bahwa sekarang sudah berbeda. Asher berhasil kabur dari count gila itu, jadi untuk saat ini karena perutnya sedari tadi sudah meminta untuk diisi makanan. Asher memutuskan untuk langsung menyicipi terlebih dahulu. Besok, dia akan mencari lebih lanjut informasi tentang Marquis.

***

The Lost Identity of AsherWhere stories live. Discover now