BINTANG MENDATANGI PENYAIR

65 22 25
                                    

Holla! Aku kembali.
Jangan lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya.

HAPPY READING


"Namaku Auriga Kavi." Begitulah ucapnya saat awal pertemuan kami di perpustakaan kampus. Seperti biasa, perpustakaan tersebut tak terlalu ramai, apalagi hari sudah menjelang malam. Tapi aku masih ada di sini, berteman dengan buku-buku sejarah kuno yang jarang disentuh. Aku sendiri sebenarnya juga tak berminat untuk bermain bersama mereka, namun karena rancangan cerita yang sedang kutulis sedikit membahas tentang sejarah-lebih tepatnya sejarah seni di dunia-maka aku rela untuk mempelajari setiap sudutnya. Ya, aku adalah seorang penulis.

Aku balik menatap matanya yang menembus netraku tanpa malu. Dengan gerakannya yang santai, ia menyilangkan jemarinya di atas meja. "Siapa namamu?" ucapnya kemudian.

Aku tetap memandanginya, mengamati lelaki itu yang entah mengapa berani mendekatiku. Bukan apa, hanya saja aku memang terbiasa sendiri hingga orang-orang tak berani untuk sekedar menyapa. "Niskala Nirwana."

"Nama yang indah, Nona."

"Apa maksudmu memanggilku 'Nona'?" Tatapanku semakin tajam mengulitinya.

Kulihat ia yang menggaruk tengkuknya sembari berkata, "Apakah aku salah? Nona belum menikah bukan? Kecuali jika Nona memang sudah menikah maka aku akan mengganti panggilanku menjadi Nyonya."

Aku hanya menghela napas kasar. "Terserah kau saja." Lantas beranjak sembari menutup buku yang kupelajari, membawanya kembali ke rak. Sayangnya, aku lupa jika tempat buku itu berada cukup tinggi hingga aku tak dapat mencapainya. Bahkan untuk mendapatkan buku ini saja, aku harus menaiki salah satu kursi di sini. Tapi bagaimana aku akan menggerek satu kursi dan menaikinya, saat lelaki itu terus saja mengamati gerak-gerikku? Tatapannya membuatku tak nyaman, ia seolah memenjarakanku.

Aku terlonjak saat sebuah tangan besar mengambil alih buku itu dan meletakkannya kembali pada tempat semula ia berdiri. Apalagi saat mendapati tubuh tinggi tegapnya yang berada tepat di belakangku.

"Kau tak perlu malu untuk sekedar meminta bantuanku, Nona." Bisikannya mampu membuatku merinding.

Aku berbalik menghadapnya, dengan jantung yang telah kunetralkan, juga raut wajah yang kembali dingin. "menyingkirlah, aku ingin pergi."

Lelaki itu mundur dua langkah setelah aku mengucapkan kalimat itu dengan dingin dan ketus, memberi jalan untukku pergi dari sana. Namun belum genap langkahku, ia kembali berucap, "Tunggu!" membuat langkahku benar-benar terhenti seolah ucapnya adalah perintah yang harus kutaati. "Tapi, apakah kau benar-benar sudah menikah?" lanjutnya.

Aku hampir tertawa mendengar pertanyaannya. Berani-beraninya ia menanyakan hal itu. Apa aku terlihat seperti ibu-ibu yang sudah membangun rumah tangga? Hei! Usiaku baru 20 tahun!

***

Malam ini gerimis menyiram kota dengan tetes-tetes lukanya. Ditemani oleh secangkir cokelat panas dan alunan lagu yang mendayu, netraku terfokus pada layar laptop yang menampilkan dokumen dengan paragraf-paragraf yang memenuhinya. Dengan gesit jemariku menari di atas keyboard, menginjak-injak tombol-tombol bertuliskan huruf yang akan kurangkai menjadi jalinan gatra. Ya, seperti biasa, malam hari adalah waktu paling tepat bagi seorang penulis untuk berkarya.

Namun menulis tidaklah semudah itu. Adakalanya aku kehilangan ide atau mentok pada suatu posisi. Ya, seperti sekarang ini. Aku tak tahu lagi harus menuliskan apa.

Kuseruput minuman cokelatku yang masih mengepul. Di luar sana hujan semakin lebat, ditambah dengan kilat dan petir yang bersahutan. Benar saja, Desember memang penghujung yang mengerikan, apalagi dengan musim hujannya. Setidaknya ia semakin mengerikan bagiku, setelah aku bertemu dengan pemuda itu. Lelaki dengan mata sehitam bulu gagak, kulitnya yang tidak terlalu putih membuatnya tampak manis, ditambah lesung di ujung kanan bibirnya yang menghiasi senyum. Mengapa semudah itu ia meracuni pikiranku? Ini menyebalkan.

Tanpa sadar aku kembali berkhayal, perihal seorang lelaki yang dengan mudah mampu menyihirku. Ia datang ke dalam pikiranku, berputar-putar di dalamnya, menarikan tarian selamat datang untuk dirinya sendiri. Perlahan aku tersenyum. Mengingat laki-laki dengan liontin bintang yang menghiasi gelang talinya.

"Ah, apa aku sudah gila? Aku bahkan baru sekali bertemu dengannya!" Aku mengacak rambut.

Beranjak dari kursi, aku meraih buku notes dan sebuah pena, membawanya menuju ranjang. Kuhempaskan tubuhku yang mungil pada kasur empuk. Detak jarum jam yang menunjukkan pergantian detik mengisi kesunyian dalam kamar ini. Hujan di luar sana semakin malam kian lebat, disertai kilat dan guntur nan menggelegar.

Kutengok jam dinding yang menggantung di tembok sisi kiri kamarku, pukul sebelas lewat 50 menit, hampir tengah malam. Kutatap langit-langit kamar, namun wajah lelaki itu terlukis. Nona .... suaranya saat memanggilku berkali-kali menggaung memenuhi kepalaku. Atau ada Nona-nona lain dalam hidupnya? Tiba-tiba saja aku merasa kesal.

Teruntuk lelaki yang menggaungkan mantra dari desir gerik lidah.

Tidakkah engkau berbelas kasih pada ia yang tak lagi menggenggam karsa?

Ia sang penguasa renjana, yang kau bumbui dengan debaran indah.

***


MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now