KEMBALI

7 3 0
                                    

HAPPY READING

Sudah satu minggu berlalu sejak Nabastala memutuskan untuk menjadi Niskala Nirwana. Menyenangkan sekali saat kita menjalani kehidupan dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur. Ia dapat menjalani hidupnya seperti Nabastala yang dulu dengan lebih kuat.

Selama satu minggu itu juga ia mulai melakukan banyak hal. Mulai dari kembali aktif menulis, ia juga meneruskan novel itu untuk mengenang Auriga Kavi. Jangan lupakan, ia juga telah kembali mengikuti perkuliahan sejak kemarin, setelah banyak mengejar ketertinggalan satu bulan terakhir.

Dan kini ia kembali ke rumah sakit di mana ia di rawat bersama Mira. Ia baru saja selesai check up rutin satu minggu sekali untuk mengontrol keadaan tubuhnya. Gadis itu berjalan menyusuri koridor rumah sakit di samping Ibunya. Di tengah perjalanan, ia melihat Kivandra yang sudah menunggunya.

“Bagaimana kabar Ibu?” tanyanya sembari menyalami tangan Mira.

“Kabar saya baik, Dok. Oh, ya. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih karena Dokter sudah banyak membantu dalam penyembuhan putri saya. Terima kasih banyak.” Mira menjabat tangan Kivandra dengan senyuman hangat.

“Ibu, aku ingin bertemu dengan Dokter Nana. Apa tidak papa kalau Ibu pulang sendiri?” tanya Kala pada Ibunya.

“Tidak apa, Nak. Nanti telepon Ibu pas udah pulang, ya, biar Ibu jemput.”

“Ah, tidak perlu, Bu. Nanti biar saya yang antarkan Nirwana pulang.” Kivandra menimpali.

“Baiklah kalo begitu. Saya titip anak saya, ya,” ucap Mira pada Kivandra. “Kalo begitu, Ibu duluan, ya, sayang. Ibu harus mampir ke supermarket untuk belanja bulanan.”

Mira pun pergi dari sana setelah mencium kening putrinya. Meninggalkan keduanya berdua.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Kivandra pada Niskala. Kini ia sudah mulai terbiasa menggunakan bahasa yang lebih ringan pada gadis itu.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik. Bagaimana denganmu?” Niskala balik bertanya.

“Aku juga baik,” jawabnya. “Sudah waktunya makan malam, bagaimana kalo kita berbicara sambil makan?”

“Boleh juga.”

Mereka berbelok melewati IGD, lantas turun menggunakan lift yang mendesing pelan saat mulai bergerak.

“Tapi, aku hanya bisa mengajakmu makan di kantin rumah sakit. Karena setelah selesai istirahat aku harus bertemu dengan pasien.” Kivandra mengisyaratkan permintaan maaf.

“Ayolah, itu bukan masalah. Asal kamu yang traktir.” Niskala tertawa renyah. Membuat Kivandra ikut tertawa di sampingnya.

“Oke, aku akan traktir.”

Terdengar bunyi denting pelan sebelum pintu lift terbuka. Keduanya keluar dari sana dan berjalan menuju kantin. Duduk di salah satu meja pojok yang terhindar dari keramaian setelah memesan makanan dan minuman.

“Bagaimana progresnya?” tanya Kivandra setelah mereka sempurna duduk.

“Hampir selesai. Aku tengah menulis satu bab terakhir dan kurang epilognya aja.” Niskala membuka tasnya dan mengeluarkan laptop dari dalamnya.

Benar, ia memutuskan untuk melanjutkan cerita yang ia buat tentang Auriga Kavi dan Niskala Nirwana dengan berdasar pada kenyataan. Kelak jika novel itu diterbitkan, ia akan menjadi buku perjalanan hidup seorang Niskala. Ia sengaja meminta bantuan Kivandra, karena psikiater tersebut juga berprofesi sebagai editor naskah.

“Bagaimana ending-nya?” tanya Kivandra sembari menerima makanan yang telah mereka pesan.

“Kamu tahu akhirnya bagaimana. Kan, sesuai dengan realitasnya.” Niskala mengaduk-aduk jus alpukatnya sebelum meminumnya. Ia mengarahkan laptopnya pada Kivandra yang duduk di sampingnya. Sengaja duduk berdampingan agar lebih mudah dalam bekerja sama merevisi naskah yang telah ditulis oleh Niskala. “Aku butuh bantuanmu untuk merevisi empat bab terakhir.”

Kivandra menarik laptop itu ke hadapannya. “Apakah sad ending?” tanyanya sembari melihat hasil tulisan Niskala. Tapi, benar bukan, hingga sekarang Niskala belum bertemu dengan Kavi.

“Tidak ada sad ending dalam kamusku. Semuanya berakhir dengan keikhlasan, aku memeluk semuanya dengan bahagia. Di kehidupan nyata, itu adalah akhir bahagia yang dirangkai dengan takdir terbaik-Nya. Ingatlah, bahwa yang terbaik nggak harus sempurna.”

Kivandra terdiam mendengar penuturan Niskala. Ia menatap layar laptop sembari mencerna kalimat yang baru saja diucapkan oleh Niskala.

“Bagaimana, apa ada komentar? Aku pengen pada bagian ini, tuh, biar bisa lebih ngena ke hati. Sampe orang yang baca ngerasa kalo emang mengikhlaskan itu begitu berpengaruh sama hidup. Jadi, tulisan ini bisa mendorong mereka buat jalanin hidup dengan ikhlas. Menerima semua kelebihan dan kekurangan yang ada.”

Kivandra tersadar dari lamunannya. “Oh, iya. Pada bagian ini, coba kamu tambahkan  narasi yang menggambarkan suasana hati kamu pada saat itu. Perasaan kamu, tuh, kayak gimana? Kamu tulis pake diksi-diksi indah seperti biasanya. Paham, kan? Kamu udah hebat dalam hal ini.” Ia memberikan saran.

Niskala manggut-manggut, menandakan bahwa ia mengerti apa yang dimaksud oleh Kivandra.

“Kalimat yang ini dihapus aja. Kamu udah pernah jelasin di bab sebelumnya. Jangan diulang-ulang, nanti malah bertele-tele.”

“Oke ... siap, Kapten!” seru Niskala sembari mengangkat tangannya pada kening. Seperti saat hormat bendera.

Keduanya pun mulai asyik membahas soal naskah novel Niskala. Beberapa kali Kivandra memberikan saran, beberapa kali pula Niskala memperbaiki tulisannya.

Hingga pukul dua belas lewat empat puluh menit, waktu istirahat Kivandra tersisa dua puluh menit lagi. Niskala telah membereskan semua barang-barangnya ke dalam tas., bersiap untuk pulang. Keduanya beranjak dari duduknya.

Setelah Kivandra membayar makan siang mereka, keduanya berjalan berdampingan melalui koridor rumah sakit sembari bercakap-cakap. Namun, pada pertengahan perjalanan mereka, Niskala mendadak menghentikan langkahnya.

Sosok di hadapannya membuatnya terdiam, bahkan tak bergerak barang sesenti. Di hadapannya berdiri seorang lelaki dengan kulit tak terlalu putih dan cekungan kecil pada pipinya yang akan tampak samar saat ia tidak tersenyum. “Kavi ...,” lirihnya. “Nana, sepertinya delusiku kambuh lagi,” lanjutnya.

Kivandra ikut terdiam di samping Niskala. Ia ikut menatap ke depan tepat pada sosok laki-laki dengan gelang berliontin bintang yang melingkari lengan kirinya. Jangankan Niskala, bahkan Kivandra hampir tidak memercayai penglihatannya. Tapi, jika ia juga dapat melihatnya, berarti itu bukan ilusi, ‘kan?

Sosok itu masih terdiam di sana, menatap dalam pada netra Niskala. “Nona Nirwana. Kaukah itu? Aku tidak dapat mengingat rupamu, tapi aku sungguh yakin bahwa kau adalah Niskala Nirwana. Langit yang telah aku tinggalkan bersama dengan luka.”

TO BE CONTINUED

MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang