NABASTALA DAN NISKALA NIRWANA

3 3 0
                                    

HAPPY READING

Senja telah kembali hadir dengan lembayung indahnya. Angin berembus pelan membawa pesan-pesan singkat sebagai penyejuk jiwa. Bahkan sang baskara tengah menghadiahkan momen terindah untuk menghapus titik-titik luka. Juga kawanan burung di luasnya nabastala terbang berbaris menuju rumah-rumah mereka untuk menghempas penat yang dirasa. Singkat saja, waktu senja hadir seolah memang diciptakan sebagai obat penenang sukma.

Suasana nan damai itu menjadi hiburan tersendiri untuk pemuda dengan jas dokternya yang kini tengah berjalan santai di alun-alun kota untuk menghilangkan penat. Hari ini ia banyak bertemu dengan pasien. Mendengar cerita-cerita mereka layaknya teman curhat dan memberikan motivasi-motivasi pembangkit jiwa sudah menjadi tugasnya.

Dengan langkah santainya ia menelusuri jalan setapak di sekeliling air mancur yang lumayan besar. Sontak berhenti kala korneanya yang menangkap sosok seorang gadis yang tengah menangis tersedu di hadapan air mancur tersebut dengan berjongkok. Ia menghampiri gadis itu dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Nirwana,” sapanya pelan. Namun, tak ada tanggapan dari gadis dua puluh satu tahun itu. “Nirwana.” Ia kembali memanggil. Namun, masih sama. Tak ada balasan. Hingga ia menepuk pundak gadis itu pelan.

Ia mengangkat wajahnya. Dengan mata sembab yang masih mengucurkan air mata, ia memandang Kivandra dengan tatapan bertanya. “Kamu siapa?”

“Saya Nana. Anda tidak ingat?” Pertanyaan dari Kivandra ditanggapi dengan gelengan oleh Niskala.

“Baiklah, siapa nama anda?” Kivandra mengulurkan tangan.

Dengan takut-takut, Niskala balas menjabat tangan Kivandra. “Nabastala.” Ia menyebut sebaris nama yang tak asing di telinga Kivandra. Ialah nama kecil dari seorang Niskala Nirwana. “Kamu seorang dokter?” gadis itu melanjut dengan pertanyaan.

“Iya, saya seorang dokter,” jawab Kivandra sembari mengangguk. “Mengapa anda bersedih?”

"Kamu datang terlambat,” jawabnya singkat. “Ia sudah pergi meninggalkan aku sendirian. Harusnya kamu datang lebih awal.”

"Siapa yang tengah anda bicarakan?”

"Bintang yang menghiasi nabastala. Sekarang Tala kesepian. Tala nggak punya teman untuk membicarakan bayak hal tentang puisi-puisi uang baru saja Tala buat.” Niskala yang menyebut dirinya dengan panggilan Tala kembali menangis sesenggukan. “Bintang telah lenyap, ia meninggalkan Nabastalanya.”

Dan tepat dengan berakhirnya kalimat yang telah diucapkan oleh Niskala, sedu sedan gadis berpipi tembam itu berganti dengan raungan kesakitan. Tangannya dengan kuat menekan tengkuk demi menahan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Rasanya seolah ada palu yang tengah mengentak-entak otaknya hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Nirwana, anda tidak apa?” seruan kekhawatiran itu meluncur dari bibir indah Kivandra. Ia memegang pundak Nirwana dengan sedikit guncangan.

Sesaat kemudian, Niskala telah melepaskan tangan dari kepalanya. Ia menoleh pada Kivandra dengan terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini? Lepaskan tanganmu dariku!”

Dengan cepat Kivandra menarik kembali tangannya. “Anda baik-baik saja?”

"Seperti yang kau lihat, aku tidak kurang suatu apa pun,” sinisnya.

"Anda baru saja meraung-raung di hadapan saya. Mengatakan bahwa saya terlambat datang. Bintang telah pergi dari nabastalanya.” Kivandra mencoba menceritakan adegan yang baru saja terjadi meski dengan sedikit dilebih-lebihkan, karena memang Niskala tidak meranung.

“Benarkah?”

"Apa aku tampak sedang berbohong?”

Niskala memperhatikan raut wajah Kivandra. Pahatan romannya yang rupawan tidak tampak seperti sedang berbohong. Kivandra tengah menatap serius tepat pada netranya.

MAJNUN NISKALA✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ