LANGIT UNTUK BINTANG

17 11 2
                                    

HAPPY READING

Tepat pukul nol di malam hari yang cukup dingin, ketika jarum jam saling berimpit menunjuk angka 12. Dengan jaket tebal melapisi tubuhku, juga minuman hangat yang dibelikannya di salah satu perempatan yang kami lalui. Aku dan Kavi baru mendaratkan tubuh di atas padang rumput hijau yang luas. Aku tak tahu letak pasti tempat ini, karena hanya menikmati perjalanan, dibonceng dengan sepeda kayuh miliknya. Mendengarkan cerita-cerita menarik yang dilantunkannya sembari merasakan embusan angin malam yang ternyata tak sedingin yang kukira.

Aku ikut merebahkan tubuh di samping lelaki itu yang tengah memandangi langit dengan khidmat. Kuperhatikan apa yang sedang ia pindai dengan netra legamnya. Semburat gemintang menghiasi langit nan nirmala. Bagaimana bisa selama ini aku mengabaikan pemandangan seindah ini? Bahkan aku tidak menyadari bahwa hari ini adalah malam bulan purnama. Sang candra tengah dengan elok duduk pada mahligai, bersinar terang amat permai.

"Tokoh utama pada malam ini adalah rembulan." Kavi mengawali pembicaraan. "Aku hanyalah setitik cahaya dibanding dengan purnama itu, Nirwana. Tapi dengan bagaimanapun, langit tetap menjadi rumah untuk bintang-bintang, 'kan? Sedangkan aku masih mencari rumah untuk pulang."

Matanya sendu saat ia menoleh padaku. Aku sedikit tertegun karenanya. Hanya beberapa detik, sebelum ia kembali menatap langit. Lantas meneruskan ucapannya. "Kamu tahu hidup ini adalah niskala? Kau tahu seberapa rumitnya itu. Dan kita hidup di dalamnya."

Entah mengapa, aku sudah tak tertarik dengan rembulan yang gagah bersinar di langit sana. Tatapanku tertuju pada salah satu gemintang yang tampak paling terang di antara bintang lain. Tidak, tokoh utama malam ini bukanlah purnama yang megah. Melainkan bintang nan rapuh.

"Aku, dan kau. Kita tahu mimpi terbesar kita adalah kekal dalam nirwana. Tapi di dunia? Apa yang telah dijanjikan? Aku masih mencari rumah, Nirwana." Ia kembali mengulang pernyataan sebelumnya. Membuatku bungkam untuk beberapa saat.

"Kau tahu, Kavi? Namaku bukan hanya Niskala Nirwana. Dulu, nama kecilku adalah Nabastala. Tala kecil yang riang, ramah, dan suka melontar canda." Aku mulai bercerita. "Tapi semua itu hirap saat satu bintang hilang dari dekapanku."

Kini bergantian aku yang mengendalikan pembicaraan. Ia menoleh, memperhatikanku yang tetap fokus dengan satu bintang.

"Usiaku masih tujuh tahun saat Ayahku tewas karena kebakaran. Bintang, begitulah orang-orang menyapanya." Mataku sudah berkaca-kaca bahkan saat masih di pembukaan cerita. "Nabastala kehilangan penghuninya, menjadikan keceriaan itu berubah menjadi kosong."

Tak kusadari, setetes duka jatuh luruh ke pipi tembamku. Kavi hanya menatapku, tanpa ada niatan untuk mengusap air mata yang telah jatuh.

"Kau tahu, Kavi?" Aku terisak pelan. "Sekecil itu aku sudah pandai merangkai kata. Bahkan aku memahami filosofi-filosofi kehidupan yang sering kali terabaikan. Sekecil itu aku telah mempelajari kosa kata unik yang jarang digunakan."

Berhenti sejenak untuk mengatur napas, Kavi merengkuh tubuhku yang bergetar karena harus mengungkit kembali masa lalu itu. "Sejak saat itu, aku membenci nama Nabastala. Karena langit itu hanya kosong. Tak ada gemintang yang akan bersemayam, pulang padanya. Nama ini, Niskala Nirwana, aku sendiri yang meminta pada Ibu untuk mengubah namaku. Aku sendiri yang memilih nama itu."

Kavi menepuk-nepuk pelan punggungku untuk menenangkan. Satu tangannya mengelus pucuk kepalaku, seolah memberitahukan bahwa aku tak sendiri. Sekarang aku menyadarinya. Selama ini aku tak pernah membiarkan ada orang yang masuk dan berteduh pada langit yang kosong itu, maka aku akan tetap sendiri. Aku menenggelamkan wajah pada dada bidang miliknya.

"Kau tak pernah sendiri, Nirwana."

Hangat, aku merasakan kehangatan dari tubuhnya. Persis seperti saat terakhir kali Ayah memelukku, menenangkanku yang menangis karena telah memecahkan gelas Ibu-padahal Ibu tidak marah.

Mendongak untuk memperhatikan wajahnya dengan mataku yang sembab, aku memanggilnya pelan. Lelaki itu sedikit menunduk untuk melihat wajahku. "Kau mencari langit untuk tinggal, bukan?" Tidak ada jawaban darinya. Ia masih menunggu lanjutan kalimatku. "Aku akan menjadi Nabastala untuk seorang Auriga."

***

Aku tertegun kala mendengar kalimat itu terucap dari mulut mungilnya. Terdiam membuat suasana malam itu menjadi lengang, hanya suara jangkrik yang mengerik juga dersik angin yang mengisi kesunyian saat itu. Aku salah, tokoh utama malam ini bukanlah sang purnama. Kami adalah tokoh utamanya, langit yang kosong dan bintang yang telantar.

Masih memperhatikan gurat wajah gadis itu, aku mengangguk sembari tersenyum. "Aku adalah bintang, yang akan menghiasi langit dengan binarku." Sungguh, aku amat berterima kasih padanya. Karena sudah mau menerimaku untuk tinggal. "Auriga untuk Nabastala."

Saat itu, malam telah berganti menjadi dini hari. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka 1 dengan jarum menit yang telah melampaui angka 2. Setitik cahaya yang beterbangan melampaui kami. Membuat Nabastalaku ikut mendongak, menatap penuh takjub, tersenyum riang. Dia seolah benar-benar menjadi Nabastala yang ia ceritakan. Aku bahkan sempat bingung, harus tetap memanggilnya Nirwana atau Nabastala. Dan kuputuskan untuk tetap menyapanya dengan asma Nirwana. Biarkan Nabastala tetap ia kenang, Nirwana adalah tujuan kami. Aku akan menciptakan Nirwana bersamanya.

Ratusan kunang-kunang beterbangan di sekeliling kami. Benar-benar indah, seolah tengah merayakan sesuatu, mengucapkan selamat. Gadis itu, ia telah beranjak dari duduknya, memandang kunang-kunang yang terbang ke sana kemari dengan netra yang tak kalah bersinar. Melompat-lompat kecil untuk menangkap mereka. Tawanya benar-benar membuatku candu. Aku tak pernah mengira jika gadis cuek nan dingin itu memiliki senyum dan gelak tawa yang amat memabukkanku.

Ia menghampiriku yang masih diam memperhatikannya, lantas berseru, "Ayolah, Kavi. Bantu aku menangkap mereka." Gelak tawa menyertai kalimatnya, menerbitkan senyum di bibirku. "Ayo, tangkap mereka," serunya meneriakiku. Menarik tanganku untuk bergabung dengannya.

Aku ikut berlarian dengannya, melompat-lompat seperti anak kecil. Sesekali malah berkejar-kejaran dengannya.

Dengan napas tersengal, masih dengan gelak tawanya. Gadis itu berhenti di hadapanku. Seekor kunang-kunang hinggap di rambutnya. Aku meletakkan telunjuk di depan bibir, mengisyaratkannya untuk diam. Dengan cekatan aku menangkap serangga bersinar itu. Mengimpitnya di antara kedua telapak tangan. Memperlihatkannya pada Nirwana.

Gadis itu memicingkan mata, mengintip lewat cela jemari yang kubuka.

Seekor kunang-kunang kembali terbang melalui kami, Nirwana berhasil menangkapnya. Tersenyum lebar atas keberhasilannya. Lalu kembali mengintip hasil tangkapannya.

"Apa yang akan kau lakukan dengan kunang-kunang ini, Nirwana?" tanyaku, ikut mengintip kunang-kunang tangkapanku.

Ia tidak menjawab pertanyaanku. Melepaskan kembali kunang-kunang yang ia tangkap dengan susah payah. Ya, itulah jawaban untuk pertanyaanku. Melepaskan kembali kunang-kunang itu, membiarkan mereka kembali beterbangan dengan teman-temannya.

Aku menoleh padanya, disambut dengan tatapan berbinar miliknya. "Aku hanya ingin menangkapnya, Tuan, bukan memenjarakan mereka," ucapnya pelan. "Setiap makhluk hidup punya hak untuk bebas, 'kan?"

TO BE CONTINUED

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now