RENJANA DAN KEPULANGANNYA

14 7 8
                                    

HAPPY READING

Pikiranku benar-benar tak tenang. Membuatku hanya melamun selama kelas morfologi bahasa Indonesia berlangsung. Bahkan tak menyadari jika kelas itu telah usai, sampai seorang teman menepuk pundakku pelan, menarikku kembali pada alam sadar. Mengedarkan pandang pada ruang kelas tersebut. Menatap bingung, mengapa semua orang telah berhamburan keluar dari kelas? Lantas mengembuskan napas panjang. Beranjak dari kursi dan ikut keluar bersama dengan mereka.

Aku mencoba menjernihkan otak dengan menghirup sebanyak mungkin udara segar di taman fakultas Sastra. Memperhatikan orang-orang yang tengah bercengkerama dengan teman-temannya, atau bersenda gurau dengan kekasihnya. Dan aku hanya sendiri dengan semua renjana yang menulikan seruan-seruan tak terima dari otak kecilku. Sedang hatiku kian berbangga atas kemenangannya.

Melirik jam tangan yang melingkar indah pada pergelangan tangan kiriku, jarumnya telah menunjuk angka sepuluh. Aku memutuskan untuk menuju kafetaria. Kembali menuai langkah, kafetaria itu berada di seberang taman, bersebelahan dengan gazebo yang cukup luas.

Aku duduk di salah satu kursi dekat jendela setelah memesan nasi goreng ekstra pedas dan segelas jus alpukat sebagai menu sarapan kali ini. Membuka laptop yang memang belum kumatikan sejak mata kuliah morfologi. Mengarahkan kursor pada ikon microsoft word, menyiapkan lembaran baru.

Saat pesananku sampai, aku langsung menyesap jus alpukat dengan sedotan. Aroma cabai menguar dari nasi goreng yang mengepulkan asap, semakin meyakinkan bahwa memang nasi goreng tersebut pedas. Aku hanya berpikir dengan memakan makanan pedas akan membuatku melupakannya untuk sejenak.

Aku mulai mengetikkan sesuatu di lembar microsoft word yang semula kosong. Sembari menyuap nasi goreng yang dengan cepat membuatku mendesis kepedasan. Sesekali aku kembali menyesap jus alpukat yang tak sanggup menghilangkan rasa pedas pada lidah. Lengkap sudah keadaanku, dengan perasaan yang gundah, air mataku jatuh karena rasa sesak di tambah rasa pedas tak tertahan. Bahkan hidungku kini sudah tersumbat.

Aku kembali mengetik kata demi kata yang terpikirkan olehku. Menyuap nasi goreng yang tersisa separuh tanpa memedulikan keadaan diriku sendiri. Namun saat aku ingin kembali menyendok nasi goreng itu, tak kudapati ia di tempat semula. Perhatianku yang tadinya terfokus pada layar laptop kini menoleh mencari keberadaan nasi gorengku yang lenyap.

Seseorang di sana membuatku tertegun. Dengan perlahan ia duduk di hadapanku, membawa nasi goreng milikku ke hadapannya dan mulai melahapnya.

"Itu milikku," sinisku. Kavi tak mengindahkan ucapanku. Ia terus memakan nasi goreng milikku dalam diam.

Aku mendengus kesal. "Sudah kukatakan itu milikku!"

Ia mengangkat wajahnya memandangku setelah nasi goreng tersebut tandas. "Aku akan membelikan yang baru untukmu jika kamu masih lapar. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu tetap memakan nasi goreng pedas ini saat aku tahu benar kamu tidak bisa memakannya. Kamu punya menyakit lambung, jangan menyakiti dirimu sendiri untuk melampiaskan kekesalanmu!"

Aku terdiam. Dia benar, aku memang memiliki riwayat penyakit mag. Jangankan memakan nasi goreng itu sampai habis, aku bahkan bisa muntah hanya karena memakan satu buah cabai beberapa saat lalu. Memakan separuh porsi nasi goreng itu sama saja dengan aku siap sakit.

"Aku tau kamu kesal, lampiaskan padaku. Kamu boleh memarahiku sesukamu, kamu boleh mencaciku, atau memukulku. Tapi, tidak dengan menyiksa dirimu sendiri," ucapnya tegas. Matanya menatap tepat pada netraku. Aku melihat ada secuil kemarahan menggantung di sana.

Aku balas menatapnya tajam. "Oh ya? Bagaimana kalo aku membeli lebih banyak lagi?"

Ia tersenyum, menampakkan cekungan pada pipi kanannya yang menambah kesan manis. "Maka aku akan menghabiskannya."

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now