TANTANGAN PENGABADIAN

16 8 5
                                    

HAPPY READING

Aku terbangun oleh alarm yang mendengking. Pukul 06.00, itu artinya aku menghabiskan waktu tidur selama 3 jam.

Setelah tadi malam menangkap kunang-kunang bersama Kavi, lelaki itu memberikan sebuah tantangan. "Aku akan mengabadikanmu dalam lukisanku, dan kau harus mengabadikanku dalam puisimu. Setuju?"

Aku mengiyakan tantangannya, siapa takut?

Dan kami pun mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kavi dengan kuasnya, dan aku dengan pena biruku. Menuliskan semua tentangnya. Pesonanya, gerak-geriknya, sikapnya, semuanya.

Semuanya berjalan dengan sunyi, tidak ada yang usil mengganggu. Hingga pukul 2.30 Kavi menepuk pundakku. "Sudah pagi. Ayo, kuantar pulang. Kau membutuhkan istirahat barang sejenak." Aku mengangguk. "Kita selesaikan itu nanti, malam nanti aku akan menjemputmu lagi. Lukisan dan puisi ini harus sudah siap, oke?" Sekali lagi aku hanya mengangguk, mengiyakan.

Dibonceng olehnya dengan sepeda kayuh, aku hanya diam menikmati pemandangan dini hari. Melakukan hal bodoh seperti menghitung bintang di langit sana. Kavi hanya tertawa mendengarkan omelan sebalku yang lupa sampai mana tadi aku menghitung, apakah bintang ini sudah masuk dalam perhitunganku, atau kenapa bintang terlihat sangat kecil hingga sulit sekali menghitung mereka.

Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di rumahku. Kavi menghentikan sepedanya, menyuruhku turun. Tepat di bawah pohon kemboja yang bunganya berjatuhan.

"Selamat beristirahat, Nona. Jangan lupa temui aku di mimpimu." Aku tersenyum, menanggapi. Melambaikan tangan sebelum melangkah ke pintu rumah. Tapi, baru selangkah aku berjalan, Kavi kembali menyerukan namaku. Membuatku menoleh dengan ekspresi bertanya. "Kau ada waktu sore ini?" tanyanya.

"Aku rasa sore ini aku sibuk." Jawabanku membuat sinar wajahnya meredup. Lantas, aku tertawa. "Aku hanya bercanda, Kavi. Aku ada kelas sampai jam tiga, setelahnya aku kosong. Ke mana lagi kau akan mengajakku?"

"Kau akan tahu nanti, Nona. Aku akan menjemputmu pukul empat."

Aku belum sempat mengiyakan, tapi lelaki itu telah menghilang dengan sepedanya. Mengayuhnya cepat-cepat dengan tawa mengejek.

Mengingat kejadian tadi malam saja sudah membuatku bahagia. Auriga Kavi, laki-laki itu benar-benar menjadi bintang di langitku. Dia berhasil masuk, dan menghiasi langit yang semula kelam.

***

Hari ini terhitung hari keempat sejak lelaki itu menyebutkan namanya di meja baca perpustakaan. Menanyakan namaku yang hanya kutanggapi dengan sinis. Sungguh, hari itu aku mencapnya sebagai laki-laki paling menyebalkan di dunia, yang kini telah kutarik kembali persepsiku itu.

Sore hari, seperti biasa sehabis pulang dari kampus aku langsung memasak untuk makan siang yang tertunda. Lantas, mandi, membersihkan diri. Khusus untuk hari ini, aku juga mempersiapkan diri untuk bertemu Kavi. Aku tak tahu ia akan mengajakku ke mana, jadi aku hanya memakai gaun putih seukuran betis-gaun favoritku.

Ngomong-ngomong soal pertemuan kami, aku telah menyelesaikan tantangannya. Puisi itu telah genap. Hanya perlu menunggu disandingkan dengan lukisan miliknya, maka ia akan sempurna.

Kulirik jam beker yang tergeletak di atas nakas, pukul 03.30, masih 30 menit lagi hingga ia menjemputku. Tapi, aku punya ide yang lebih bagus. Segera kucari nomor teleponnya, dan beberapa saat kemudian terdengar nada dering yang langsung hirap karena Kavi telah menerima panggilan itu.

"Selamat sore, Nona Nirwana." Ia mengawali panggilan itu dengan salam santun. "Apakah jam di rumahmu berlari lebih cepat? Ini masih setengah jam lagi menuju waktu yang aku janjikan, Nona."

"Kau sedang apa?" Aku tidak menghiraukan perkataannya.

"Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk diam memperhatikan jam dinding yang rasanya berjalan amat lamban." Terdengar suara helaan napas di ujung sana.

Aku tertawa ringan. "Kau sudah makan?"

"Belum, aku tidak sabar kembali bertemu denganmu hingga melupakan makan siang."

"Datanglah ke rumahku segera, makan siang sudah menunggumu. Jangan biarkan ia mendingin." Setelah kalimat itu, sambungan kututup secara sepihak. Aku tidak ingin mendengar jawabannya. Itu adalah balasanku, untuk tadi malam.

Lima menit kemudian, seniman itu telah mengetuk pintu rumahku. Aku berseru mempersilakannya masuk, pintunya tidak dikunci.

"Kau memasak apa, Nona?" tanyanya saat baru tiba di dapur. "Aromanya sungguh lezat."

"Bukan apa-apa. Hanya ikan tuna yang aku panggang di atas kompor." Aku tertawa. "Dengan sambal matah sebagai pelengkapnya."

"Sepertinya lezat. Perutku langsung mengaung saat baru mencium aromanya." Ia duduk di salah satu kursi meja makan. Menungguku yang masih memotong kotak-kotak daging buah alpukat untuk pencuci mulut nanti.

Setelah selesai kuhidangkan semua, kami mulai makan. Sepiring berdua, makan langsung menggunakan tangan. Kavi benar, itu seolah menambah kenikmatan makanan.

"Nirwana," panggilnya, sepertinya akan mulai membuka topik pembicaraan yang cukup serius. Terlihat dari raut wajahnya, juga panggilannya yang tidak menyertakan embel-embel 'Nona'.

Aku menoleh padannya yang berada di sampingku. Menunggu ucapan selanjutnya keluar dari mulut Kavi.

"Di dunia ini, ilusi adalah yang paling menyakitkan." Cukup, hanya itu yang ia katakan. Tidak ada penjabaran, apalagi penjelasan tambahan.

Menelan nasi yang semula kukunyah, aku bertanya, menanggapi. "Tapi, bukankah realitas lebih menyakitkan?"

Ia menggeleng. "Sejatinya, ilusilah yang membuat kenyataan itu terasa menyakitkan, Nirwana."

Aku mencoba mencerna kalimatnya. Hendak kembali bertanya, tapi ia sudah mendahuluiku dengan mengucapkan, "Kau akan tahu nanti." Dan itu adalah kalimat terakhir dari topik ini. Sekali lagi, tidak ada penjabaran maupun penjelasan lebih lanjut.

Aku tidak masalah dengan hal itu. Tapi, kapan itu nanti? Malam ini, esok, lusa, atau mungkin tahun depan? Ah, sudahlah. Biarkan waktu yang menjawabnya.

***

Ruang 4 × 5 meter itu masih saja mengenyam sunyi. Hanya suara dari monitor yang memberitahukan bahwa masih ada kehidupan di dalam sana, menjadi pemantik harapan bagi orang-orang yang menantikannya. Setiap hari seorang dokter dengan susternya datang memeriksa, untuk memastikan kondisi. Setiap saat pula, keluarga datang silih berganti mendampingi seseorang yang membisu di dalam ruangan itu.

Pintu ruangan tersebut terbuka perlahan, menampilkan seorang perempuan paruh baya yang mulai menampakkan keriput di wajahnya. Parasnya yang masih menawan seolah menjadi versi tua dari seorang gadis yang terbaring lemah di ranjang ruang bertuliskan ICU. Ia berjalan perlahan mendekati ranjang rumah sakit yang lumayan canggih itu. Duduk pada kursi yang berada di samping ranjang.

Mata wanita tersebut menyapu setiap raut wajah putrinya yang tengah berada pada keadaan antara hidup dan mati. Mengalihkan pandang ke arah monitor yang terus berjalan, ia memperhatikan garis-garis yang tergambar teratur menunjukkan denyut jantung gadis itu yang berdenyut seirama.

TO BE CONTINUED



MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang