SISA-SISA RENJANA

11 3 0
                                    

HAPPY READING

Ruangan 4 × 5 meter itu masih tetap sunyi seperti biasanya, dengan seorang wanita paruh baya duduk di sofa sebelah ranjang pasien. Satu tangannya membelai surai hitam sebahu milik anaknya, sedang tangan yang lain menggenggam jemari gadis yang tak pernah bergerak barang sesenti sejak sebelas hari yang lalu.

Dengan tubuhnya yang semakin kurus dan gurat wajahnya yang mulai keriput, satu-dua rambutnya telah beruban. Matanya terpejam karena kantuk, masih dengan hati yang terus merapalkan doa demi kesembuhan anaknya.

Perlahan jemari yang digenggamnya bergerak dengan lemah, membuat wanita paruh baya itu sontak terbangun. “Nak?” panggilnya di samping kepala sang putri dengan lembut. Tapi, tidak ada balasan dari anaknya. Bahkan tak ada lagi pergerakan halus yang sebelumnya terjadi. Membuatnya kembali putus asa.

“Nak, kamu bisa dengar Ibu, ‘kan?” tanyanya dengan penuh harap. Namun, sekali lagi anaknya yang terbaring lemah itu tidak merespons. “Kala, kamu nggak kangen sama Ibu  Nak? Nggak mau peluk Ibu seperti biasanya? Bangun, Nak.” Sang ibu tergugu. Tetes lara terukir di kedua pipinya yang mulai berkerut.

Wanita paruh baya itu kembali tertegun dengan tetes tangis yang mengalir perlahan pada pipi tembam putrinya. “N-nak, kamu bisa dengar Ibu?” Ia menghapus air mata putri semata wayangnya dan mengelus lembut pipi halusnya.

“Ibu.” Suara itu begitu pelan dan terdengar amat lemah. Tapi, hal kecil itu disambut dengan sangat bergembira oleh Sang Ibunda. Ia terisak karena tangis bahagia.

Kelopak mata gadis itu bergerak. Beberapa kali mengerjap karena belum terbiasa dengan cahaya dalam ruangan yang sebenarnya hanya diterangi oleh lampu tidur yang tak terlampau terang. Hingga pada menit berikutnya, netra yang telah 2 minggu terpejam itu perlahan kembali melihat dunia.

Adalah Niskala Nirwana, gadis yang kini tengah menatap Wajah Ibunda dengan sinar mata yang redup. Sang ibu yang menangis bahagia langsung memeluknya erat. Tubuhnya bergetar karena tangis.

“Ibu sangat bahagia malam ini. Ibu akan mengingatnya sebagai malam dengan rasa syukur yang begitu besar. Putri Ibu sudah kembali. Ibu takut kehilangan kamu, Nak,” ucap Ibu di tengah tangisnya, lantas mencium kening Kala beberapa detik.

Tidak ada tanggapan dari anak gadisnya. Ia telah sadar, namun keadaannya masih belum benar-benar membaik. Butuh waktu untuk ia benar-benar pulih dari keadaan komanya.

Melihat putrinya yang hanya diam dengan pandangan kosong, Ibunda tersenyum tak berdaya dan mengelus surai hitam anaknya. “Ibu akan panggil perawat.”

Ia menekan tombol Nurse Call Bell di sisi tempat tidur. Lima menit kemudian, seorang perawat dengan tugas jadwal jaga malam ini tiba.

“Selamat Malam, Bu Mira,” sapanya pada Ibu dari Niskala yang berasma Mira. Senyumnya mengembang sebagai simbol kesopanan yang tulus. Lalu ia mengalihkan pandangannya pada Kala. Sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya, bahwa gadis itu telah terbangun dari koma. “Benar-benar kabar gembira. Saya akan memeriksa anak anda terlebih dahulu,” ucap perawat dengan setengah berseru senang.

Perawat itu mulai memeriksa keadaan Kala seperti malam-malam sebelumnya. “Bagus sekali. Semuanya baik. Hanya perlu sedikit menunggu untuk dia benar-benar pulih.” Perawat menyampaikan kabar itu pada Mira. “Bagaimana perasaan anda?” Lanjut bertanya pada Kala.

Beberapa saat gadis itu tetap terdiam. “Apa yang terjadi?” Dengan terbata-bata ia bertanya pada sang Bunda. Ia memandang bingung antara Ibunya dan perawat.

“Kamu tidak ingat, Sayang?” Mira menatap anaknya dengan prihatin. “Kecelakaan beruntun saat kamu menyeberang jalan raya  kamu tertabrak bus. Ada masalah apa, Sayang, sampai kamu tidak dapat memperhatikan sekitarmu?”

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now