MENGABADIKAN FANA

33 12 22
                                    

Ada yang baca?

HAPPY READING

Sepertinya gerimis kali ini benar-benar merindukan buntala. Ia terus saja merintik disambut tanah yang telah lama becek. Membuat orang-orang enggan untuk sekadar beranjak keluar dari kamar, lebih memilih duduk di hadapan jendela sembari menyeduh kopi berteman alunan lagu yang mendamaikan. Dan memang itulah yang sedang kulakukan saat ini.

Tapi, aku punya makna sendiri untuk gerimis yang tak kunjung reda. Mungkinkah bumantara sudah teramat lelah dan tak lagi sanggup untuk memikul bebannya? Entahlah, aku tak cukup luang untuk memikirkan beban nabastala, sedangkan tanggunganku sudah seperti memecahkan kepala. Lihatlah, kertas-kertas berserakan di mejaku, buku-buku terbuka menyanding laptop yang menyala.

Kuseruput kopi yang masih mengepulkan asap. Dengan segera, kehangatan seolah mengalir dalam tubuhku. Cangkir kopi itu masih berada pada tangan kananku, sedangkan tangan lainnya tengah memainkan pena-kebiasaanku ketika berpikir. Lantas menuliskan hasil kerja otakku pada halaman terakhir makalah yang baru saja kupresentasikan satu minggu yang lalu.

"Dia seorang seniman muda berusia 22 tahun," gumamku, menyebut salah satu karakter dalam novel yang akan kutulis. "Dengan warna kulit yang tak terlalu putih dan lesung pipi yang membuatnya tampak manis."

Suara gesekan pena biru yang beradu dengan kertas ikut menjadi pengantar kedamaian si sela-sela suara rintik hujan, dersik angin, dan alunan lagu yang terputar dari ponselku.

"Matanya sehitam bulu burung gagak, dengan bulu mata lentik dan alis yang tergambar sempurna." Aku kembali bergumam, menyebut satu per satu deskripsi tampang dari tokoh utama laki-laki yang akan terus kupikirkan selama beberapa bulan ke depan, sembari menuliskannya dengan asal. "Jangan lupakan liontin bintang yang menghiasi gelangnya."

Lagu yang mengalun sudah dua kali berganti judul, tapi aku masih saja menuliskan deskripsi si seniman. Kembali memikirkan bagaimana rupanya, postur tubuhnya, sampai ke hal yang paling sederhana seperti tahi lalat di atas kelopak matanya kanannya. Selang beberapa menit kemudian, aku telah beralih untuk memikirkan bagaimana karakteristik tokoh utama tersebut.

Kembali kuseruput minuman kopi yang tak lagi mengepulkan asap, namun masih menyimpan kehangatan. Otakku sibuk memilah ide-ide tentang bagaimana karakteristik dari seorang seniman yang akan menjadi bintang ceritaku. "Tentu saja dia orang yang romantis," gumamku di sela-sela suara rintik hujan yang tak kunjung reda. Sementara itu, tangan kiriku menuliskan semuanya. "Dia juga orang yang sedikit menyebalkan. Tetapi, dia murah senyum."

Hampir satu jam aku menghabiskan waktu hanya untuk merangkum sosoknya yang memesona. Dan baru kusadari ... hei, siapa nama seniman itu? Aku bahkan belum memikirkannya sama sekali. Dan sayangnya, aku tak pandai mencari nama laki-laki. Atau aku cari saja rekomendasi nama laki-laki di internet? Tapi, kuota internetku telah habis, menyisakan kuota chat yang jarang kugunakan. Bahkan dalam kontakku, hanya Zora kontak teman yang aku simpan. Bagaimana lagi? Aku tidak sepeduli itu untuk meminta kontak teman sekampus. Bahkan sekedar saling menyapa saja jarang kulakukan.

Zora! Ya, sepertinya aku harus meminta saran padanya. Dia sangat pandai dalam urusan nama, bahkan tak jarang ada orang yang meminta rekomendasi nama untuk anak-anak mereka.

Aku segera menelepon Zora. Baru sekali nada dering terdengar, panggilan itu langsung terhubung. Terdengar gumaman tak jelas dari seberang sana. "Tumben sekali kau meneleponku." Itulah salam pembuka darinya.

"Aku ingin meminta bantuanmu," ucapku pelan, langsung pada inti pembicaraan.

"Jangan bilang kau ingin aku mencarikan nama tokoh untuk novel garapanmu."

MAJNUN NISKALA✔Where stories live. Discover now