Bab 1 Bukan Nala

20 5 4
                                    

            "Ning Nala, boleh meinta tolong ambilin minyak kayu putih di lemarinya Tia," pinta Sahila pada Nala yang tengah memijat-mijat tangan Tia yang masih tak sadarkan sejak sepuluh menit yang lalu.

Nala menatap permintaan Sahila. Ia ragu untuk mengabulkan permintaan tolong itu. Baginya, membuka lemari orang lain itu tak pantas. Ia tak berhak melakukannya.

Sahila tahu, Ning Nala takkan mau dimintai pertolongan untuk hal ini. "Tolong, Ning. Ini darurat. Hanya ada kita berdua di sini. Tia di pangkuan saya," ucapnya memohon. "Semua santri puteri masih di sorogan di majelis," ucapnya lagi.  "Maaf kalau saya tak sopan. Saya tahu saya hanya santri dan pengurus. Tidak pantas meminta tolong Ning Nala, seorang cucu Kiai Arsyad." Sahila menundukkan pandangannya setelah menunjukkan wajah penuh sesal. Ia benar-benar butuh pertolongan.

Nala menghela napas berat. Bukan karena tidak ingin dimintai pertolongan oleh seorang santri. Nala tidak pernah mempermasalahkan statusnya yang masih cucu Almarhum Kiai Arsyad, pemilik Pondok Pesantren Darul 'Ilmi ini. Baginya menolong adalah hal yang utama. Tapi ini? mengambil barang di lemari pribadi santri lain? Ia tidak pantas melakukannya meski cucu kiai.

Ia menoleh lagi pada Sahila. Tia yang masih terbaring tak sadar. Hanya ada minyak sayur di piring dan sebuah koin untuk mengerik Tia agar segera sadar. Tidak ada minyak kayu putih atau balsam atau benda lain yang bisa dipakai untuk membangunkan kesadaran Tia.

"Baiklah, saya ke kamar Tia sekarang. Saya akan ambilkan minyak kayu putih," ujar Nala. Ia akhirnya memutuskan untuk untuk pergi ke kamar Tia yang letaknya paling ujung.

Nala meninggalkan kamar Sahila dan berjalan menyusuri koridor untuk ke kamar Tia di ujung lorong. Kamar Tia paling ujung. Koridor sepi, begitu juga kamar para santri puteri, tiada suara. Semua santri sedang sorogan Nahwu Sharaf sore ini. Hanya ada dirinya, Sahila, dan Tia. Tiada yang lain.

Dengan ragu, ia mendorong gagang pintu untuk masuk ke kamar Tia. Niatnya untuk mengambil minyak kayu putih demi Tia, sesuai permintaan Sahila, salah satu pengurus kesehatan santriwati di Pondok Pesantren Darul 'Ilmi.

"Lemari kedua dari kanan," rapal Nala sesuai ucapan Sahila. Setelah menemukan lemari berbungkus kertas kado motif bunga-bunga berwarna pink. Nala dengan pelan membuka lemari. Ia tatap isi lemari itu sekejap. Kedua matanya mencari di mana letak mintak kayu putih. Tidak Nampak. Tangannya mulai mencari dengan hati-hati agar tidak membuat isi lemari Tia berantakan.

"Berhenti!" sebuah suara lantang mengejutkan Nala.

Nala berhenti dan menoleh ke arah suara yang mengejutkannya. Terlihat, lima orang santri puteri pengurus berdiri di depan pintu dalam kamar dengan wajah penuh amarah.

"Rupanya Ning Nala yang selama ini meresahkan semua santri puteri," kata Irma, Roisoh,  ketua pengurus santri yang berada paling tengah.

"Ada apa ini?" tanya Nala. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa mereka ada di sini ? Sedang apa? Kenapa ia membuat resah pondok puteri?

***

"Pak dhe tidak menyangka kamu melakukan hal buruk ini. Astagfirullah!" Suara Kiai Hamdi bergetar mendapati sang keponakan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. "Mengambil hak orang lain itu berdosa, Nala. Allah Murka!"

"Ampun, Pak Dhe Yayi. Saya tidak melakukan hal seburuk itu," ucap Nala sambil bersimpuh di lantai. Ia membela dirinya sendiri bahwa ia tidak mencuri. Tidak pernah sekali pun. Jangankan uang atau barang-barang anak santri puteri, sebutir nasi pun tak kan ia makan jika bukan miliknya atau tanpa ada izin untuknya memakan itu.

"Bagaimana mungkin kamu tidak mengaku, bukti sudah nampak jelas. Kamu juga tertangkap tangan sedang mencuri di lemari Tia," ucap Bu Nyai Mahmudah dengan nada sinis. Ia kesal dengan keponakannya yang tidak mau mengakui kesalahan yang jelas-jelas terbukti.

Takdir, Jangan MenolakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang