Bab 10 Tangis Syakila

6 0 0
                                    

Syakila menghampiri kakaknya dengan tangis yang masih menyelimutinya. Miza dengan sikap penuh kasih, memeluknya erat.

"Enggak apa-apa, Sayang." Dielusnya punggung sang adik dengan lembut. Tangisannya menggores hatinya. "Semua akan baik-baik saja. Kamu sudah berusaha dengan baik," hiburnya. Dihapus air bening di wajah tembab Syakila. "Kita keluar sekarang, ya?"

Syakila mengangguk. Tangisnya selesai ketika air matanya dihapus bersih Miza.

Miza membawa tas sekolah Syakila dan menuntun adiknya keluar. Ketika ia melewati para orang tua, ia mendengar seorang ibu muda nyeletuk yang ditujukan padanya.

"Papa muda keren." Ibu itu mengacungkan jempolnya.

Ini membuat Miza malu. Di sebut papa muda oleh beberapa ibu-ibu di barisan penonton tadi. Ia hanya menanggapinya dengan senyum tanpa ingin menjelaskan status yang sesungguhnya. Menjadi laki-laki satu-satunya yang mendampingi peserta tes, membuat ia harus bersiap dengan kemungkinan seperti ini.

"Aku sebel, orang-orang selalu bilang Kakak itu papaku," ucap Syakila. Bibirna mengerucut sebal.

"Enggak apa-apa," sahut Miza. "Itu karena mereka enggak tahu yang sebenarnya. Dan mereka tidak perlu tahu." Miza membuka mobil dan memasukkan Syakila ke dalamnya. Kemudian memasangkan seat belt di tubuh adiknya.

"Kalau enggak dikasih tahu yang sebenarnya, nanti dikira Kakak udah punya isteri. Enggak ada yang mau deh sama Kakak."

Miza tertawa mendengar ocehan Syakila.

"Jodoh itu di tangan Allah. Kita tidak perlu khawatir." Miza hanya bisa menggeleng. Tapi, ia jadi berpikir apa memang begini tanggapan orang-orang seperti yang dikatakan Syakila. Ia tak tahu.

"Siap buat pesta es krim?" tanya Miza, dengan senyum merekah.

"Siaaaaaaap!" seru Syakila.

***

Syakila sampai ke rumah dengan riang gembira. Miza membelikan semua es krim yang ia minta. Ini dilakukan sebagai hukuman karena Miza kakaknya tidak bisa pergi bersamanya ke taman bermain seperti janjinya waktu pagi.

Miza tidak bisa berkutik. 20 es krim sudah tersimpan di kantung plastic. Ingin mencegah adiknya, tapi Syakila sudah mulai akan menangis. Alhasil, 20 es krim terbayar lunas di kasir.

"Makan pelan-pelan, ya. Jangan buru-buru. Nanti tersedak. Jangan juga makan sendirian. Makan sama Mbok Siti, Mbak Lela, sama Pak Ahmad," pesan Miza sebelum kembali ke klinik.

"Buat Kak Nala juga," sambar Syakila begitu mendengar tidak ada nama gurunya dalam daftar pembagian es krim.

"Iya. Kak Nala juga."

"Kak Nala biasanya ada di kamarnya. Bantu aku bawain ke sana, ya, Kak." Syakila memindahkan sekantung es krim ke tangan Miza. Tidak bisa menolak. Ia ikuti langkah adiknya ke area kamar tamu.

"Kak Nalaaa," seru Syakila.

Nala tengah membaca Al-Qur'an di depan teras, lalu menghentikan aktifitasnya kala mendengar suara Syakila. "Iya," sahut Nala. Ia mengubah posisi duduknya menghadap Syakila.

"Sudah pulang?" tanya Nala. Ia menatap tidak sabar untuk menanyakan tentang tes-nya tapi urung. Khawatir mengubah suasana hati si kecil.

"Sudah. Aku bawa es krim. Kita makan sama-sama, ya." Bibir Syakila sudah belepotan es krim stroberi. "Itu Kak Miza yang bawain. Sini, Kak." Bagai bos memberi perintah karyawannya, Syakila meminta Miza meletakkan di sampingnya.

Miza menurut.

"Ini kakak aku, Kak," kata Syakila mengenalkan kakaknya.

Nala hanya mengangguk sambil menangkupkan kedua tangannya di dada. Syakila tidak tahu kalau mereka sudah beberapa kali bertemu.

Takdir, Jangan MenolakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang