Bab 3 Gadis Kecil

4 0 0
                                    

"Wadh-dhuhaa. Wallaili Idzaa sajaa." Syakila berhenti sejenak, kemudian memejamkan matanya. Mencoba mengingat ayat Al-Qur'an selanjutnya. "Wallaili Idza Sajaa," lanjutnya. Gadis kecil itu membuka matanya, lalu mengulang ayat sebelumnya, lagi dan lagi. Ia memuka tutup mata orientalnya berkali-kali. Namun, tak ingin ia lihat pada Al-Qur'an di pangkuannya, walaupun sekadar mengintip untuk tahu Ayat Al-Qur'an lanjutannya.

Nala yang tengah Muroja'ah Hafalan Al-Qur'an sampai menghentikan aktifitasnya karena mulai terganggu dengan gadis kecil yang belum ia tahu namanya. Kedua mata almond miliknya memperhatikan dengan seksama keslitan Syakila yang di menit kemudian, ada rasa iba di hatinya karena gadis kecil di sampingnya mulai terisak.

"Wadh-dhuhaa. Wallili Idza Sajaa," lanjut Syakila dengan nada bergetar. Menangis.

"Maa wadda'aka rabbuka wamaa qolaa," sambung Nala tanpa permisi. Ditatapnya bola mata cerah gadis kecil yang masih berseragam merah putih itu penuh harap. Ia menunggu reaksi dari Syakila setelah petunjuk ayat diberikannya. Berharap Syakila bisa melanjutkan hapalannya dengan lancar.

Lalu dengan terbata-bata Syakila mengulangi ayat yang dibacakan Nala dengan sisa air mata yang masih bertengger di bulu matanya. Semenit kemudian, ayat yang dilafalkannya hilang lagi. lelah merangsek di hati dan pikirannya. Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya.

Nala terkejut. Ia bingung dengan keadaan spontan di dekatnya. Seketika ia menghampiri Syakila untuk mengetahui keadaan Syakila. Tangan setengah lembut ia mengusap kepala yang terbungkus jilbab putih Syakila. Dielusnya terus selagi Syakila menangis. Tanpa tanya dan tanpa berbuat apapun lagi, ia menunggu tangisan si kecil reda.

Tiba-tiba Syakila mengangkat kepalanya dan berkata dengan nada tersendat, " aku capek. Hapalanku enggak pernah selesai. Aku sudah coba terus ulangi, tapi tetap saja enggak bisa." Pecah lagi tangis Syakila.

"Kalau enggak bisa jangan terus dipaksa," sahut Nala. Hanya itu yang ada di pikirannya. Tangannya berhenti mengelus. Masih ditatapnya raut wajah lelah dan kesal. Ia bersiap mendengarkan ganjalan hati gadis kecil di depannya.

"Enggak bisa," tanggap Syakila dengan cepat. "Enggak boleh. Mama marah."

Nala terdiam. Tidak ada yang bisa ia sahuti. Melihat Syakila seperti tersiksa, hatinya menjadi iba. Orang tuanya tidak pernah memaksanya seperti ini, kecuali Pak Dhe Yayi. Tapi usianya tidak semuda ini. Setelah lulus sekolah dasar, ia kecil benar-benar dikurung untuk belajar dan menghapal Al-Qur'an, tanpa sekolah formal dan tanpa teman-teman di luar pondok pesantren. Sekolahnya benar-benar berhenti di usia 12 tahun dan fokus belajar di pesantren. Pak Dhe Yayi mengatakan bahwa ia hanya butuh ilmu agama dan Al-Qur'an untuk melanjutkan pesantren di masa depan. Nyatanya, kini ia berada di perantauan dalan keadaan terusir. Julukan yang pantas untuknya saat ini adalah "Ning Muda yang Terusir."

Perih memikirkan nasibnya saat ini. segera Nala mengusirnya dalam pikirannya. Merana terus tiada gunanya. Tidak pula akan mengembalikannya ke pondok pesantren. Melihat kesedihan Syakila, ia terpikirkan sesuatu.

"Bagaimana kalau saya bantu hapalan sampeyan?" ungkap Nala.

"Namaku Syakila, bukan sampeyan," jawab Syakila tanggap. Tangisnya sudah beerhenti total. Dengan cepat, dihapusnya air mata dengan jemari agak gembul menggemaskan miliknya. Semangat langsung memenuhi hatinya mendengar tawan dari gadis muda di hadapannya.

"Iya, Syakila," sahut Nala.

"Tante serius mau bantu aku?" Syakila menayakan keyakinan pada Nala sekali lagi. bola mata sendunya kembali mengambarkan api semangat.

"Saya Nala, bukan Tante." Nala menirukan sergahan Syakila dengan nada lurus. Duduknya bergeser sedikit ke tempat di mana asal duduknya berada dengan Al-Qur'an kecil di tangannya.

Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now