Bab 6 Ada Hantu Di Rumahku?

5 0 0
                                    

Miza sampai rumah di jam sepuluh malam. Kedatangan Nada sore itu mengganggu hatinya yang sudah mulai normal, meskipun kemarin ayahnya menyinggung masalah kegagalan cintanya, itu tidak terlalu mengganggunya.

"Jam segini, kok, baru pulang, Za? Ada acara?" tanya Bu Murni saat melihat anaknya baru tiba di rumah selarut ini.

"Abis mampir dulu di Alfa, Mah," jawab Miza sambil mencium tangan ibunya.

"Kamu belum makan?" tanya Bu Murni lagi. penampilannya yang berantakan membuatnya khawatir sebagai seorang ibu.

"Udah, Mah," jawab Miza lagi, singkat. " Miza masuk kamar dulu, ya. Mama Istirahat. Miza enggak apa-apa." Tanpa ingin mengobrol dulu dengan ibunya, Miza bergegas ke kamarnya. Ia butuh mandi untuk menyegarkan pikirannya. Langkahnya berbelok ke dapur, tenggorokannya seolah mengering. Ia tak sempat minum air putih setelah makan mie cup hambar tadi.

Begitu sampai di depan pintu dapur, ia tertegun. Dari pintu kaca dapur, Nampak di dapur seseorang berbusana putih dari ujung kepala sampai kaki, tengah meminum segelas air putih. Miza mengucek matanya. Sosok putih itu jelas. Tiba-tiba darahnya seakan berdesir cepat. Spontan ia membalikkan tubuhnya. Memegangi dadanya. Jantungnya ikut berdegup kencang karena keterkejutan yang luar biasa.

"Hantu?" gumamnya. "Mbok Siti tidak setinggi itu. Aku enggak pernah liat Mbok pakai baju putih." Tanda tanya memenuhi pikirannya. Setelah agak tenang ia berniat memastikan sekali lagi dan membalikkan tubuhnya.

"Masa jam sepuluh udah ada hantu. Setan lagi nganggur?" celetuknya. Namun, begitu ia berbalik, sosok itu sudah tidak ada. Diintipnya melalui kaca, sosok hantu itu tidak ada di setiap sudut dapur. Ia berniat mencari dan masuk ke dapur yang serba putih.

"Astagfirullah. Beneran hantu kayaknya." Bulu kuduknya berdiri lagi. Teringat akan haus tenggorokannya, Miza dengan cepat emmbuka kulkas dan mengambil sebotol air putih. Lalu bergegas meninggalkan dapur.

"Ketika sampai di kamarnya, Miza menepuk dahinya. Sambil tertawa kecil menertawakan tingkah konyolnya.

"Udah mau 30 tahun, masih aja takut hantu. Hantu mana ada zaman sekarang." Miza menggeleng kepala. Sedetik ia sadar barusan ia tertawa. "Alhamdulillah, siapa tahu galaunya hilang."

***

"Jadi kotor mukenanya," ucap Nala. Ia meraba-raba ujung mukenanya yang tanpa noda dan debu sedikit pun. "Gara-gara menjuntai sampai lantai pas di dapur tadi. Padahal baru dua hari di pakai." Nala melepas mukenanya dan meletakkannya di tempat pakaian kotor. Ia berniat mencucinya nanti pagi.

Ingin Nala teruskan muraja'ah setelah tadi terganggu karena haus dan harus ke dapur. Tapi, waktu sudah terlalu larut. Ia juga khawatir jika suaranya mengganggu seisi rumah yang tengah beristirahat. Akhirnya, Nala memilih untuk tidur.

Diperiksanya terlebih dulu, catatan agenda harian belajar ngaji Syakila, khawatir masih ada yang kurang dan terlewat. Jadwal mengajinya harus teratur dan tak lupa Nala menuliskan target dan pencapaian ngajinya. Hal ini selalu ia lakukan ketika di pondok pesantren, menyusun jadwal mengaji dan membuat rencana materi mengaji. Membimbing santri baru adalah tugasnya dulu.

"InsyaAllah aku bisa. Ilmu harus diamalkan dengan baik. Meski tidak dipesantren lagi, aku harap amalan ini tak terputus di mana pun aku berada." Nala mengulas senyumnya pada buku itu. Jiwa raganya sudah siap untuk berjuang Subuh nanti.

***

Alarm subuh berdering mengiringi Adzan Subuh di kamar Syakila. Tapi, gadis kecil itu masih berselimut ria. Adzan sudah berhenti, sedang dering alarm itu tak bisa diam, kecuali tombol off ditekan. Setelah empat kali jeritan alarm, barulah gadis kecil itu bangun. Ia terkejut melihat jam sudah di angka 5 padahal subuh kurang 15 menit dari itu.

Takdir, Jangan MenolakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang