Bab 12 Siapa Kamu Sebenarnya?

4 0 0
                                    

"Siap, Kak?" tanya Syakila pada kakaknya, Miza. Ia sudah bersiap dengan busana yang rapi. Pukul 5 sore adalah waktu yang tepat menurut si kecil untuk merayakannya setelah dilanda kecewa pada kedua orang tuanya karena tak bisa merayakan langsung kelolosannya.

"Oke," jawab Miza yang juga sudah rapi dengan pakaian semi casual-nya. "Kita jemput Kak Nala. Kamu udah beri tahu dia buat siap-siap, kan?"

Syakila nyengir. Ia sama sekali tidak memberitahukan apa-apa mengenai rencana perayaannya. "Biar surprise, Kak. Hehehe."

Miza geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Ia yang harus memikirkan bagaimana mengajak Nala secara mendadak begini.

Miza dan Nala mendatangi area kamar tamu untuk menjemput Nala. Kebetulan, Nala sedang berada di teras depan kamarnya. Altifitas pastinya adalah sedang mendaras Al-Qur'an sambil ngabuburit menunggu Magrib datang. Selepas Ashar, Nala membantu Mbok Siti di dapur. Hari biasa, Syakila akan mengaji. Tapi karena hari ini istimewa, lbur pengajian untuk Syakila diberikan Nala.

"Kak Nala," panggil Syakila dengan ceria. "Ikut kita, yuk. Kita mau makan di luar."

"Makan di luar?" tanya Nala terheran dengan ajakan Syakila.

Miza berdehem. Nala pasti akan tidak pafam jika Syakila mengajaknya dengan tiba-tiba dan cara seperti itu.

"Maaf mengganggu waktunya, Mbak." Miza mulai berkata. "Hari ini dan bermaksud merayakannya. Mama sama Papa enggak bisa ikut karena masih sibuk di luar. Jadi, kita mau mengajak Mbak Nala untuk ikut."

Nala menutup Al-Qur'annya dan terdiam seakan menimbang sesuatu. Ia tak pernah pergi keluar sekadar untuk main selama ini, pikirnya.

"Ini Nala yang minta Mbak Nala untuk ikut," tukas Miza. Ia khawatir Nala salah paham padanya.

"Iya, Kak. Aku mau Kak Nala ikut. Kan semua ini karena Kak Nala. Jadi aku mau banget Kak Nala bisa ikut ngerayain. Masa Cuma aku berdua sama Kak Miza. Kan, enggak seru," cerocos Syakila. Memohon. Ikut, ya. Pleeeeease."

"Saya,..." Nala ragu. Ia tak tak tahu bagaiaman seharusnya, menolak atau menerima. Ia tak pernah pergi keluar. Tiada pernah pula yang mengajaknya seperti ini. apalagi ada laki-laki dewasa mengajaknya.

"Tenang saja, kita hanya akan makan malam, setelah itu main sebentar dan pulang. insyaAllah enggak akan pulang larut malam."

Nala menoleh pada Miza dengan singkat.

"Tolong, Kak." Syakila memohon. "Mama Papa enggak bisa ikut. Kakak yang gantiin, ya."

Nala menatap Nala dengan bola mata memohon Syakila.

"Ya sudah. Saya ikut." Nala memutuskan untuk ikut. Walaupun ia masih bingung bagaimana nanti atau apa yang akan ia lakukan di sanal. Ia yang kaku, dan kampungan, belum pernah ke kota. Pengusiran membuatnya terdampar di kota kini.

"Yeeeaaay!!" Syakila bersorak. Sedangkat Miza mengusap dadanya tanda lega.

"Kalau begitu, saya minta waktu sebentar untuk ganti baju."

"Oke. Kita tunggu di sini," sahut Syakila.

Miza mengajak Nala duduk di bangku yang menghadap ke taman sambil menunggu Nala berganti pakaian. Bunga dan langit sore benar-benar memanjakan matanya. Area kusus kamar tamu ini memang berbeda, langsung bersentuhan dengan alam luar dan luar.

"Papa memang jago desain rumah. Para tetamu yang menginap di sini pasti betah," guamam Miza. "Semoga Nala betah juga berada di sini."

"Syakila," panggil nala. "Saya sudah siap."

Syakila dan Miza menoleh berbarengan. Syakila segera menghampiri Nala dan menggandeng tanggannya. Sedangkan Miza, beberapa menit terganggu dengan pemandangan di seberangnya. Nala bergamis biru muda dengan kerudung bunga berwarna senada terapasang rapi di kepalanya. Senja ini Nampak bercahaya dengan wajah cerah Nala. Kelopal mata bercelak hitam menambah tajam sorot matanya yang teduh.

"Kak Mizaaaa, ayo berangkat!" seru Syakila menyadarkan lamunan kakaknya.

"Nala tidak cantik, tapi menawan," batinnya.

"Iya. Kita berangkat sekarang, ya." Miza berjalan lebih dahulu menuju di mana mobil terparkir. Sopir rumah sudah menyiapkan mobil di depan rumah.

Nala hendak member tahu Mbok siti dulu, tapi Syakila menahannya, karena ia sudah berpesan pada pak sopir untuk tidak menyiapkan buka puasa untuk Nala.

"Beres, Kak,." Syakila mengacungkan jempolnya sambil memamerkan gigi putihnya.

Nala hanya mengikuti Syakila kemana membawanya. Karena tangan kecilnya tak membiarkan lepas dari tangan Nala. Saat hendak naik mobil. Barulah tangan itu lepas. Nala menolak duduk di samping sopir, Miza. Ia merasa tidak nyaman berada dekat seperti itu. Ia baru saja mengenal Miza dan itu karena Syakila. Ia lebih memilih duuk di kursi penumpang dan adik kakak itu berada di depan.

***

Mall Of Serang. Terpampang nyata di hadapan Nala. Gedung pusat belanja di serang rupaya tempat tujuan Syakila dan Miza. Ketiganya bagai sebuah keluarga kecil memasuki dalam mall yang lumayan ramai. Karena sore ini adalah pintu menuju malam minggu. Mulai dari pekerja hinnga anak munda akan menghabiskan waktu di tempat ini.

Dua puluh menit lagi Magrib tiba. Miza mnimbang-nimbang apa yang akan mereka lakukan untuk menghabiskan waktu sebelum magrib. Karena tidak mungkin menunggu Magrib hanya dengan duduk di restoran.

"Menunggu Magrib, ya, Kak?" tebak Syakila. Ia melihat kedua mata kakaknya berselancar mencari tempat tujuan.

"Iya. Kamu ada ide?" tanya Miza. Buntu.

"Kita keliling ja, kak," cetus Syakila.

Nala hanya diam mendengarkan percakapan adik kakak di sampingnya. Ia tidak puny aide aapun. Mall adalah salah satu tempat yang belum pernah ia kunjungi. Ia hany menatap lalub lalang orang di hadapannya. Matanya juga mangkap cahaya terang outlet-outlet mall. Dipandangi juga escalator, tangga yang berjlan sendiri. Orang-rang tidak perlu bergerak untuk mencapai lantai selanjutnya. Di sinilah ia akhirnya. Berkat Syakila dan Miza, ia bisa tahu bagaimana tempat yang sering ia dengar dari percakapan mahasiswa saat masih bekerja di masjid dulu.

"Mbak Nala kayaknya, capek berdiri terus seperti ini. kita tunggu di restoran aja, ya," cetus Miza. Ia pasrah dengan waktu mepet magrib ini. "Nanti selepas Magrib baru kita main-main sebentar, gimana? Oke?" tanyanya pada Syakila.

"Oke," jawab Syakila.

Nala hanya menurut. Mereka memasuki restoran seafood, makanan favorit Syakila dan Miza. Setelah melhat area makan yang nyaman untuk di duduki. Miza, Nala, dan Syakila duduk mengistirahatkan kaki mereka setelah beberapa menit hanya berdiri tegak.

"Kak Nala mau makan apa?" tanya Syakila sambil memegangi buku menu. Ia mulai melihat-lihat.

"Saya ikut saja," jawab Nala singkat.

"Kak Nala biasa makan apa kalau di restoran. Kalau aku sudah udang bakar," ujar Syakila.

"Saya tidak pernah ke restoran. Makan di rumah saja. Alhamdulillah."

Miza mendengar dengan seksama percapak dua perempuan di hadapannya sambil sesekali mencuri pandang pada Nala.

"Kalau pergi ke mall, di tempat Kak Nala, mall apa kakak datangi buat main?"

Nala hanya tersenyum dan menggeleng.

Unik, batin Miza. Baru kali ini Miza melihat orang yang begitu terisolasi dengan dunia modern. Mall, restoran, bahkan handphone. Nala belum pernah menjamah ketiganya. "Siapa sebenarnya Nala ini?" batin Miza. 

 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now