Bab 2 Bukan Aku

6 1 1
                                    

"Dompetku hilang," ucap seorang mahasiswa yang mengejutkan teman-teman di sekitarnya.

"Ada yang lihat dompetku?" suara panik seorang mahasiswa terdengar ke dalam ruangan kecil di samping masjid kampus.

Nala tertegun dengan suara berisik di luar. Ia terpaku sejenak dan tak meneruskan kegiatannya untuk makan.

"Bukan Nala," ucapnya tanpa sadar dengan suara lirih. Ingatannya kembali melayang ke masa suram itu. Bukan hari ini saja, namun setiap ada kejadian kehilangan di masjid tempatnya bernaung dan bekerja, alam bawah sadarnya selalu menyangkal dirinya sendiri dengan ucapan lirih yang sama.

Dengan banyaknya mahasiswa, dosen, atau warga kampus Fatahillah yang mampir untuk beristirahat dan beribadah di masjid, tentu saja tidak bisa memungkiri kejadian tidak enak seperti itu. Bukan berarti masjid kampus tidak aman, hanya saja semuanya mungkin saja terjadi, karena banyak orang dengan berbeda karakter dan kepentingan, serta kebutuhan orang-orang yang berbeda.

Kehilangan juga bukan karena disebabkan oleh orang lain. Bisa saja hal itu dikarenakan keteledoran pemilik, seperti lupa atau ceroboh. Hanya diperlukan kehati-hatian di mana saja, bukan hanya di masjid umum seperti masjid kampus ini.

Yang hanya bisa pihak masjid lakukan adalah memuat informasi kehilangan di papan berita masjid kampus. Pemberitahuan kehilangan ini terletak di dinding menuju arah toilet dan tempat wudu wanita, tidak jauh dari ruangan Nala. Hatinya merasa tersudut setiap ada pengumuman kehilangan itu. Hingga terkadang tak ingin ia melihatnya.

"Allah, kendalikan diriku. Bukan aku yang mengambilnya." Nala memejamkan matanya sambil geleng-geleng kepala.betapa hal ini menyiksanya. Direngkuhnya erat-erat sapu tangan biru di tangannya karena tubuhnya mulai bergetar, hatinya kesakitan. Peristiwa kehilangan tak berhenti mengganggunya.

"Astaghfirullahal 'Adziim." Kalimat ini yang selalu ia rapal berkali-kali sebagai bentuk pemulihan diri dari traumanya.

Kehilangan ini bukan tanggung jawab Nala. Ia hanya seorang tukang bersih-bersih masjid area perempuan dan mengurus peralatan ibadah, seperti rukuh, karpet, dan Al-Qur'an. Selain itu, untuk memanfaatkan kemampuannya, ada dua anak sekolah dasar yang ia ajari mengaji. Meski tidak ia minta, orang tua anak-anak itu memberikannya sedikit apresiasi berupa uang. Uangnya cukup ia gunakan untuk sehari-sehari meskipun sangat jauh dari cukup untuk kehidupan sehari-hari di ibu kota Provinsi Banten itu. Minimal, Nala memilik sedikit pemasukan yang sangat ia syukuri. Syukur dan harunya tak pernah hilang dalam hatinya, karena masih ada orang yang mau memanfaatkannya dengan baik. Alhamdulillah.

***

"Jangan nangis," bentar Bu Murni pada Syakila, gadis kecil berusia 8 tahun, yang menangis tersedu di hadapan ibunya. "Kalau gagal itu jangan nangis. Perbaiki kesalahan. Cengeng sekali."

Wajah Bu Murni memerah menghadapi puteri bungsunya yang mengecewakannya lagi.

"Ada apa, Ma?" tanya seorang laki-laki ber-suit putih. Ia menghampiri ruang tamu tempat di mana adik kecil dan ibunya berada. Ia terkejut saat melihat adiknya menangis dan datang ke pelukannya.

"Kak Miza," kata Syakila menumpahkan tangisannya pada sang kakak.

"Syakila, kok, nangis? Kenapa sayang?" tanya Miza. Tangan kokohnya membelai rambut ikal adik kecilnya dengan lembut. Syakila tidak menjawab pertanyaan kakaknya, ia hanya sibuk menangis.

"Syakila kenapa, Ma?" tanya Misa pada Bu Murni.

"Mama kecewa. Lagi-lagi dia enggak masuk tes seleksi siswa pilihan. Kelas tahfidz. Padahal Mama berharap dia bisa masuk di sana. Suapaya bisa mengikuti Olimpade Tahfidz,' jawab Bu Murni panjang lebar. "Mama sudah kasih guru ngaji privat. Les juga. Masih aja gagal juga. Emang Syakilanya yang males. Kecewa sekali Mama."

Takdir, Jangan MenolakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang