Bab 8 Ternyata ini Hantunya

5 1 0
                                    

"Ya Allah, hari ini luar biasa beratnya," ucap Miza sambil melepas jas hitam dan dasi biru dongkernya. Dilepasnya pula kaus kaki, kemudian ia letakkan di tempat pakaian kotor.

"Pasien hari ini seperti melihat diriku sendiri. Hufft." Miza menghela napas panjang. "Tak seharusnya aku mengatakan hal yang belum bisa kulakukan. Semua akan baik-baik saja. Tapi kenyataannya masih ada yang mengganjal di sini." Tangannya menyentuh permukaan dada yang terletak di dalamnya bilik jantung.

"Bagaimana pasien bisa makan, jika dokternya saja susah makan," pikirnya. Ia terus berbicara sendiri sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur sebelum mandi. "Terkadang kata-kata Randy ada benarnya." Dipejamkannya sekejap kedua matanya. Namun, bayangan Nada yang muncul.

Bu Murni muncul di balik pintu kamar Miza tanpa mengetuknya. Hal ini membuat Miza terperanjat dan spontan bangun.

"Mama kenapa enggak ketuk pintu dulu, sih." Miza kesal karena kaget. "Aku udah dewasa, lho, Mah."

"Maaf," sahut Bu Murni. Ia meletakkan segelas susu dan roti isi di atas meja kerja Miza. "Mama sudah ketok dua kali tapi tidak ada sahutan. Mama pikir kamu lagi mandi, makanya masuk aja tanpa tanpa permisi."

"Mama tiba-tiba datang tentu saja aku kaget." Miza duduk di ujung tempat tidurnya. "Akhir-akhir ini aku ngerasa rumah kita begitu mengejutkan. Tiba-tiba aku lihat kain putih di dapur. Kadang aku lihat seorang cewek berbaju putih lagi berdiri di taman. Di rumah kita ada penghuni baru atau hantu baru, sih, Ma?"

"Ada- ada saja kamu. Dari dulu rumah kita memang tidak pernah ada hantu. Jadi mana ada hantu baru," tepis Bu Murni.

"Terus yang aku lihat siapa? Anaknya Mbok Siti?" Miza penasaran dengan seseorang yang hanya ia lihat punggungnya dengan sekilas.

"Itu guru ngaji barunya Syakila," jawab Bu Murni. "Sengaja Mama bawa untuk tinggal di sini. Biar fokus mengajari ngaji dan tahfidz Syakila. Sebentar lagi seleksi masuk kelas Tahfidz sekolah Syakila digelar."

Miza mulai kesal mendengar obsesi ibunya pada si bungsu.

"Percaya sama Mama." Bu Murni langsung membungkam Miza yang ia yakin akan mendengar penolakan lagi. "Kali ini gurunya baik dan bagus. Kita lihat hasilnya, ya."

"Gurunya muda atau tua? Lulusan mana?" tanya Miza penasaran dengan pilihan ibunya. Yang sudah-sudah, guru privat Syakila selalu gagal karena kompetensinya kurang.

"Jangan jatuh cinta sama dia," celetuk Bu Murni, lalu pergi meninggalkan kamar putera sulungnya.

Miza mengerutkan keningnya. Peringatan yang aneh. Maksud pertanyaannya bukan ke arah sana. Ia hanya menanyakan kualifikasi guru privat itu.

"Jangan jatuh cinta?" tanyanya mengulang peringatan sang ibu. Miza menggeleng tak mengerti.

***

Di atas tempat tidur, Nala mengevaluasi tahsin Syakila selepas Salat Magrib tadi. Masih banyak yang harus diperbaiki, meskipun hapalan Syakila lancar.

"Hapalan Syakila lebih ke hasil ngaji rungu. Dia mendengarkan perekam suara Ayat-ayat Al-Qur'an kemudian diikuti dan diulang-ulang," ucapnya sambil mengisi di jurnal cacatannya. "Syakila juga sudah tidak keliru dengan Huruf Hijaiyyah beserta semua harakat-nya. Mad dan Ghunnah dan Hukum Tajwidnya yang masih menjadi PR besar. Ini penting dan tidak boleh terlewati.

Syakila sempat sedih karena bacaannya banyak yang dikoreksi Nala. Kepercayaan dirinya juga sempat turun setelah subuh kemarin semangatnya berkobar luar bisa. Namun, segera Nala membendung kesedihan itu dengan meminta Syakila untuk bersabar dan tidak terburu-buru dalam belajar.

Takdir, Jangan MenolakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang