Bab 7 Patah Hati

6 0 0
                                    

 "Lihat Syakila dan keluarganya, aku jadi kangen Abi sama Umi," ucap Nala, lirih. "Mungkin enggak akan seperti ini kalau Abi dan Umi masih ada. Aku enggak akan jadi anak terbuang." Air matanya menetes lagi, lagi dan lagi.

Nala selalu merasa iri ketika melihat pemandangan keluarga harmonis di matanya. Jika sudah begitu, terkadang pengandaiannya muncul. Andai Abi dan Umi tak pergi haji. Andai ia ikut bersama mereka ke Mekkah. Andai Abi dan Umi ada, mungkin ia takkan terus berada di dapur. Andai, andai, andai. Puluhan "andai" digulirkan oleh bibir tipis yang tak pernah tersentuh  warna itu.

Saat tersadar, hanya bunyi Istighfar pengganti "andai" itu terucap. Ada saat di mana ia merasa hidup ini tak adil padanya. Ia selalu berharap Allah telah memberikan takdir yang salah, hingga hidup yang dirasakannya begitu sengsara. Ia yakin Allah akan menggantinya dengan takdir baik. Inilah isi pikiran seorang Nala ketika sedang kalut.

"Allah Maha pemberi takdir yang terbaik dan terbaik. Tidak sepatutnya aku meragukan semua yang Allah beri. Astaghfirullah 'adzim." Nala mengelus dadanya kemudian.

"Mbak Nala sudah nyuci, tho," tiba-tiba Mbok Siti mengejutkan Nala dan membuyarkan lamunannya.

"Sudah, Mbak," jawab Nala.

"Sarapan, yuk, Mbak. Saya sudah sediakan di meja makan," ajak Mbok Siti. Setelah pemilik rumah sarapan, ia baru ingat tentang keberadaan Nala. Ia lupa hanya menyiapkan sarapan untuk tuan rumah.

"Terima kasih, Mbok," tolak Nala. "Saya sudah makan tadi jam tiga. InsyaAllah makan lagi nanti pas Magrib."

"MasyaAllah," sahut Mbok Siti. Ia tersenyum malu. "Maafin saya, Mbak. Saya tidak tahu."

"Enggak apa-apa, Mbok."

Dengan sopan Mbok Siti menawarkan apa yang ingin Nala makan saat berbuka puasa. Dan dengan sopan pula Nala menolaknya. Nala mengatakan bahwa ia bisa makan apa saja yang tersedia

***

"Hari ini dimana klien kita?" tanya Miza ketika sudah sampai di kliniknya. Langsung menanyakan janji temu klien hari ini pada Randy.

"Monterey Café, Tangerang Kota," jawab Randy setelah memeriksa jurnal hari ini. "Biar aku temani Dokter dinas ke luar kota hari ini." Randy yang telah berseragam perawat itu menawarkan diri dengan sigap. Atasannya sering menerima klien dari luar kota dan tak bisa datang untuk perawatan ke kliniknya.

Jari panjang Miza mengetuk otomatis di atas meja resepsionis. Cukup dua menit baginya berpikir, lalu apa yang dicarinya telah di dapat. Letak Monterey Cafee berada.

"Tidak perlu. Aku jalan sendiri. Urus klinik selagi aku dinas di luar," tolak Miza. Gerakan dan langkah pasti Dokter Miza tak tertandingi. Cepat. Secepat kilat membuka ruang kerjanya lalu kembali keluar untuk bersiap pergi.

Randy menelan ludah, energy kilat atasannya tidak bisa menurun padanya. Kecekatannya masih kalah. Kecekatannya masih memiliki plot lambat. Tapi, sebisa mungkin ia mengimbangi kerja cepat sang dokter.

"Hati-hati, Dok. Jangan lupa makan siang," ucap Randy sambil melambaikan tangannya. Sedang Miza begitu saja melewatinya dengan tanpa menyahuti atau memberi respon apapun atas peringatan karyawannya.

"Minta orang lain buat makan, orang yang nyuruh malah susah makannya. Dasar dokter calo," cetus Randy. Sebagai perawat paling lama bekerja dengan Dokter Miza, ia hapal betul keseharian dan karakteristik dari dokternya. Susah sekali jika diajak atau disuruh makan. Ia pula kadang mengkhawatirkan kesehatan atasannya karena banyak pasien yang membutuhkannya, tapi sang dokter begitu susah menjaga makannya.

Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now