Bab 5 Tempat Baru, Harapan Baru, Kecemasan Baru

5 0 0
                                    

Nala tercengang melihat rumah Bu Murni yang berdiri megah di hadapannya. Berbanding kontras dengan penampilan dirinya yang Nampak seperti gadis kampung yang lusuh. Pandangan matanya menjelajah dirinya sendiri dari kerudung sampai kakinya.

Pakaian yang ia kenakan hanya gamis hitam dengan kerudung warna senada yang polos. Kakinya hanya beralaskan sepatu slop yang ia pakai dari pondok pesantren. Tangannya menggenggam erat koper kecil berisi pakaian dan perlengkapan lainnya untuk sehari-hari. Sesaat ia ciut melihat kemegahan rumah dengan hiasan bunga-bunga di halamannya yang luas. Namun kemudian, ia langsung tersadar bahwa perbandingan ini tidak perlu dipikirkan.

"Perkara dunia semua sama, kaya miskin, bagus jelek adalah penamaan semata. Perkara utama adalah akhirat dan tanggung jawab kita kepada Allah," batinnya memantapkan diri.

Ragunya datang saat akan melangkah mengikuti perintah pemilik rumah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang entah apa yang dirasakannya. Namun, segera terlintas dipikirannya bayang-bayang bagaimana Ia diusir di rumah besar di pondok pesantren. Sesak. Tubuhnya hampir limbung jika bukan karena suara Bu Murni yang mengejutkannya.

"Mbok Siti, tolong bawakan koper Mbak Nala ke kamar tamu, ya," pinta Bu Murni pada seorang wanita paruh baya yang merupakan Asisten Rumah tangganya. "Sudah dirapikan, kan, Mbok?" tanya Bu Murni memastikan.

"Sudah, Bu." Mbok Siti mengambil koper dari tangan Nala dengan permisi terlebih dahulu.

Nala hanya bisa membalas senyum ramah Mbok Siti dengan Malu. Senyum itu mengingatkannya pada Pak Aden dan isterinya yang begitu baik padanya. Keramahan pertama Mbok Siti membuat kesimpulan bahwa Mbok Siti seorang wanita yang baik.

"Saya harap Mbak Nala kerasan tinggal di rumah saya," ujar Bu Murni setelah menjelaskan apa saja kegiatan yang akan dilakukan Nala dan Syakila. "Saya sangat menunggu hasil belajar Syakila." Dielusnya kepala Syakila dengan lembut.

Syakila mendongak dan tersenyum pada ibunya.

"Saya akan melakukan yang terbaik. Semoga Allah juga memberikan yang terbaik untuk Saya dan Syakila. Karena semua ada di tangan Allah. Kita hanya berikhtiar, Bu," sahut Nala. Ia merasa ngeri dengan tanggung jawab barunya. Bukan perkara berhasil dan tidaknya Syakila lolos seleksi, tapi pertanggungjawabannya pada Allah akan dihisab di akhirat kelak

"Saya percaya sama Mbak Nala," tanggap Bu Murni yang selalu penuh dengan keyakinan.

"Syakila seneng banget punya teman sekaligus guru ngaji," seru Syakila. "Jadi punya temen, deh, aku. Enggak kesepian lagi. Jangan pergi, ya, Kak. Harus sama aku terus," ungkapnya bahagia.

Nala tersenyum melihat Syakila yang bahagia dengan keberadaannya.

"Akhirnya Kak Nala senyum juga, hihi," cetus Syakila. Ia memang belum melihat senyum Nala sejak pertama bertemu.

Nala tertunduk malu.

"Mbak Nala silakan istirahat dulu di kamar yang sudah Mbok Siti siapkan. Jangan sungkan-sungkan untuk beritahu Mbok kalau kamu butuh sesuatu. Feel free." Bu Murni tersenyum lalu pamit untuk beristirahat. Matahari sudah mulai turun berganti senja dan ia butuh istirahat.

Nala tidak tahu apa arti kata feel free itu. Asing di telinganya.

"Yuk, Kak Nala, Syakila antar ke kamar Kakak." Syakila meraih tangan Nala dan membawanya menyusuri samping kanan rumah di mana tempat kamar tamu itu berada.

Sore yang temaram menyejukkan hati Nala dengan pemandangan taman luas berumput pendek hijau rumah Syakila. Bunga-bunga bergoyang tertipu angin seolah turut menyambut kedatangannya sebagai penghuni baru.

"Nanti aku kenali sama Kakak aku yang paliiiiing baik," ucap Syakila tiba-tiba. "Kakak kayaknya belum pulang. Dia dokter. Sayang banget sama aku."

"Iya," jawab Nala singkat.

Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now