Bab 4 Harus

4 0 0
                                    

"Pa, pokoknya Mama harus rekrut orang yang ngajarin Syakila," ujar Bu Murni kepada suaminya dengan penuh semangat. "Ini yang selama ini aku inginkan. Syakila serius dengan hapalan Al-Qur'annya dan dia bisa banggain keluarga kita dengan menjadi Hafidzah cilik."

Pak Ridwan menyeruput kopinya sambil mendengarkan celotehan isterinya yang tak berhenti membicaran mimpi Syakila yang diciptakannya. Ruang keluarga ini seolah milik isterinya semata.

"Kalau Syakila jadi Hafizah cilik, dia bisa ikut lomba tahfidz kayak di televisi itu, Pa," ungkap Bu Murni lagi. "Kita pasti seneng banget, Pa."

Pak Ridwan bergeming meski tangan isterinya bergelayut di lengannya. Urusan anak adalah urusan ibu. Sebagai suami ia hanya mendukungnya, kecuali jika sudah di luar batas.

"Pa, ingetin Mama, dong. Buat jangan terlalu keras sama Syakila. Kasihan dia," kata Miza. Ia duduk di sofa yang berhadapan dengan ayahnya. "Aku lihat dia capek banget kayaknya. Kurang istirahat, kurang main sama teman-temannya. Syakila stress, Pa," keluhnya pada sang ayah. Ia merasa harus mengadu pada ayahnya kali ini.

"Papa kamu udah lihat perubahan Syakila barusan. Dia enggak tertekan," serga Bu Murni. Jangan sampai Miza menghancurkan mimpi adiknya dengan mengadukan hal yang tidak-tidak pada sang papa.

Miza menoleh pada Pak Ridwan yang mengangguk tanpa menatap puteranya. "Syakila baik-baik saja."

"Yang Papa lihat itu sementara saja, Pa. Pada Akhirnya Syakila akan kelelahan juga." Miza keukeuh dengan pedapatnya. "Syakila butuh kehidupan anaknya-anaknya, Pa."

Bu Murni melotot. Meski sayang dan bangga pada putera sulungnya, tapi jika masalah Syakila, ia akan melotot juga ke arah Miza.

"Syakila urusan Mama kamu. biarkan saja, selama Syakila baik-baik saja," sahut Pak Ridwan tidak terpengaruh oleh Ucapan Miza.

Miza menghela napas. Sulit sekali membuka pikiran ayahnya sebagai pendukung nomor satu isterinya itu.

"Sudah dapatkan calon isterimu?" tanya Pak Ridwan yang langsung membuat Miza tersentak dan spontak mendongakkan kepalanya. "Kamu janji sama Papa buat bawa temanmu itu sebagai calon isterimu. Kapan kita bisa ketemu?"

Bu Murni langsung menegakkan posisi duduknya. Penasaran dengan jawaban yang akan diberikan Miza.

"Pa, kenapa jadi bahas aku? Kita lagi bahas Syakila," Miza tak mengharapkan topik ini dibahas.

"Kamu harus segera bawa calon isterimu. Usiamu sudah cukup untuk mneikah. Apalagi yang kamu tunggu?" Pak Ridwan lagi-lagi meneruskan topiknya tanpa memedulikan keengganan Miza.

"Iya, Nak. Kapan kamu bawa dia ke rumah? Mama udah enggak mau punya menantu ais itu dapet cucu," Bu Murni mendukung sepenuhnya sang suami dalam merangsek Miza untuk menikah.

Suasana hati Miza tiba-tiba berubah. Air mukanya kemerahan. "Dia sudah mau menikah dengan laki-laki lain, Pa," sahut Miza lirih. Ia menundukkan kepalanya dengan rasa yang bercampur aduk jika teringat Nada yang menolaknya.

"Ketinggalan selangkah," cetus Pak Ridwan. "Bagaimana kamu jadi psikiater hebat jika maju melamar temanmu saja sdah ketinggalan." Pak Ridwan meninggalkan Miza yang masih terduduk sedih.

"Ya Allah, Nak," ucap Bu Murni yang turut bersedih. "Mama turut sedih mendengarnya. Kamu yang sabar, ya, sayang." Bu Murni menghampiri Miza dan mengusap-usap punggungnya.

"Aku baik-baik saja, Ma," Kata Miza.

"Syakila baik-baik saja. Kamu cepat cari isteri biar Papa enggak marah lagi sama kamu."

Miza menoleh dan menatap ibunya tanpa perasaan yang pasti. Memikirkan Syakila atau calon isterinya. Namun ia berakhir dengan mengingat asal kemarahan sang ayah padanya.

Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now