Bab 9 Semangat Syakila

4 0 0
                                    

Kedua mata Miza menangkap tudung saji di hadapnnya. Makanan. Ia membuka tudung saji itu. Nampak Opor Ayam dan Sup Jagung. Melihat kuah opor yang seakan berkilauan membuat perutnya lapar. Roti isi yang dibawakan ibunya memang hanya kena satu gigitannya.

Tanpa pikir panjang, Miza membawa opor dan sup itu ke kompor dan bermaksud menghangatkannya. Dan dengan cepat pula ia menyiapkan piring dan sendok di atas meja.

"Kalau makan tersedia di atas meja seperti ini, itu tandanya Mbok Siti menyediakan makan malam seseorang, atau makan sahur. Kamu mau sahur?" tanya Miza pada Nala yang masih berdiri menghadap dispenser. Tanpa menunggu respon Nala yang berbalik perlahan, Miza berkata, "duduklah. Kita makan sama-sama."

Tambah terperanjatlah Nala mendengarnya. Ia menolak dengan mengucapkan terima kasih. Tapi Miza mencegahnya.

"Kasihan Mbok Siti. Sudah capek-capek masak, tapi ditolak," cegah Miza. "Jangan takut, saya kakaknya Syakila. Syakila pasti sudah cerita, kan?"

Nala mengangguk. Syakila terus mencitakan Kakak tersayangnya, meskipun Nala belum tahu bagaimana rupanya. Benar apa yang dikatan Syakila, kakaknya sangat tinggi.

"Duduklah. Keburu Subuh," pinta Miza lagi.

Nala tidak bisa lagi menolak mengingat usaha Mbok Siti untuknya. Akhirnya mau tidak mau ia harus makan dengan kakaknya Syakila. Ia membuang jauh pikiran buruk tentang label jahat pada Kakak muridnya itu. Pemilik rumah tidak akan berbuat jahat pada tamunya, pikir Nala. Dengan ragu Nala duduk di meja makan selagi tangan Miza sibuk menuangkan Opor dan sup dari wajan. Aroma kedua makanan yang dibawa oleh asap tipisnya masuk ke lambungnya terlebih dahulu dan membuat Nala tak mungkin menolak masakan lezat buatan Mbok Siti yang baik.

"Silakan," ujar Miza. "Makanlah dengan nyaman. Lagi pula kita pernah makan mie cup semeja. Persis seperti ini".

Kedua pipi Nala entah kenapa memerah. Mungkin karena rasa malu yang ada bertemu dengan orang yang sama lagi.

Miza tersenyum melihat tingkah canggung Nala.

"Aku Miza." Miza menyebutkan namanya sebelum mengucapka basmalah. "Kalau Sampeyan?"

"Nala," jawab Nala.

***

"Kak Nalaaaa" panggil Syakila. Langkah kecilnya berlari menghampiri Nala yang tengah menyiram bunga yang terbaris atas pagar.

"Syakila. Mau berangkat sekolah?" tanya Nala. Syakila benar-benar rapi pagi ini, setiap hari selalu cerah.

"Hari ini aku ada tes seleksi masuk kelas unggulan. Doain aku, ya, Kak," ujarnya penuh semangat. "Aku pasti bisa, kan, kan?"

Nala mengernyit karena terpaan sinar mentari pagi. "InsyaAllah, Bisa. Syakila sudah berikhtiar dengan sungguh-sungguh."

"Amiiiin." Syakila mengusap wajah dengan kedua tangannya mengamini dengan harapan besar di dadanya. "Semoga kali ini Mama enggak kecewa lagi sama aku."

"Amiiiin." Nala turut mengamini dengan tulus. "Syakila harus terus yakin, ya." Untuk menguatkan gadis kecil yang gigih itu. Nala mengusap pucuk kepalanya dua kali. Ia tidak tahu apakah ini akan berefek atau tidak. Ia tidak pernah punya adik. Keponakan kecilnya jarang sekali ia asuh karena kesibukannya di dapur dan di pondok.

"Syakila!" panggil Miza dari kejauhan. Ia mengamati guru dan murid itu dengan berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. Ia penasaran dengan apa yang tengah mereka bincangkan. "Ayo, Dek. Kita terlambat!" seru Miza lagi sembari melihat jam tangannya.

"Iya, Kak!" Syakila membalas seruan kakaknya lalu berlari menghampirinya.

Nala mengawasi langkah Syakila dari kejauhan. Ia melihat Miza sekilas. Laki-laki yang makan sahur dengannya semalam dan tak berhenti membuatnya kikuk. Ia belum sempat minta maaf atas kesalahannya, sekaligus berterima kasih atas bantuannya. Semalam ia hanya diam menikmati makan sahur, tanpa bicara sedikit pun. Begitu selesai. Ia hanya mengucapkan terima kasih setelah membersihkan piring dan alat masak yang kotor. Lalu menghilang di balik pintu dapur menuju kamarnya kembali.

Takdir, Jangan MenolakkuWhere stories live. Discover now