2

217 29 80
                                    

Aya menampilkan wajah lelah seperti orang yang baru saja kalah dari pertandingan begitu masuk ke dalam mobil FJ hijau.

Sang pengemudi yang melihat, lantas menanyai perempuan itu tentang hari ini.

Aya menghembuskan napasnya. "Everything is okay." Bohongnya.

Sang pengemudi yang baru menginjak kopling itu lantas mengangguk. "Mau gym, ikut atau pulang?"

Aya menghela napas sebelum bicara. "Nge-gym mulu, jadi otot juga nggak perasaan."

"Udah jadi Ya, nih ototku kalau kamu mau pegang." Lelaki itu menampilkan bisepnya yang sudah terbentuk.

Bukannya memegangi, Aya malah mencubit sampai membuat kulit lelaki itu merah.

"Aya sakit!"

"Nggak usah ngegas dong Kak Ifeh." Teriak Aya tak mau kalah.

"Ngeselin banget sumpah, kalau bukan adek beneran, udah aku turunin." Sungut lelaki yang dipanggil Ifeh itu, lalu memutar kemudinya ke kiri, yang artinya bukan jalan ke rumah mereka.

"Aku belum jawab, kenapa malah ke tempat otot-otot itu?"

"Aku pikir-pikir, nggak perlu minta izin atau nunggu persetujuan kamu. Ini mobil aku, yang bawa juga aku, aku bebas dong kemana aja."

Kurang sialan apa hamba punya Kakak modelan dia. Batin Aya.

Aya menyandarkan punggungnya di kursi dengan kedua tangan terlipat. Kepalanya ia palingkan ke kiri. Ogah melihat kakaknya.

"Turun atau di sini aja?" Tanya Ifeh begitu sudah sampai di tempat tujuan. Perjalanan dari sekolah Aya ke tempat gym tidak terlalu jauh.

"Sini aja. Jangan lupa balik sebelum magrib." Pinta Aya dengan kepala dan mata masih menatap ke jendela.

"Kamu kalau minta apa-apa tuh liat ke orangnya. Aku nggak mau kabulin permintaan kamu kalau kamu nggak sopan gitu."

Mendengar kata Ifeh di bagian 'kabulin permintaan", membuat Aya teringat permainan di sekolah tadi. Oh Tuhan... apa harus skenario hidup hamba begini? Tanya Aya dalam hati.

🌷

Ke esokan harinya.

Jihan sudah dibuat pusing. Permintaan Michelle itu harus dikabulkan hari ini juga. Tadinya ia ingin pura-pura sakit. Akan tetapi Ibunya pasti akan mengantarkannya ke rumah dokter yang kebetulan sekali di depan rumahnya.

Jadilah sekarang ia ada di kelas dengan kursi-kursi sudah terisi penuh, termasuk kursi Ibu Diana yang sedang mengajar sejarah.

"Nggak pa-pa, daripada di kantin, pilih mana?" Kata Michelle lirih, membuat Jihan menoleh pada gadis bermuka bulat itu.

"Ngeselin banget asli." Kata Jihan tak kalah lirih.

"Kalau kata Sada, asli cap badak."

Jihan mendelik dan itu disaksikan oleh Sada yang mati-matian membungkam mulutnya agar tidak tertawa.

"Aya, apa harus gue teriak gini? Malu dong, mana di depan ada Ibu."

Aya mengedikkan bahu. Ia tidak bisa lagi bersifat bak pahlawan yang selalu bisa mencari jalan keluar untuk masalah orang lain. Otaknya sudah tidak jernih lagi ketika membaca kertas terkutuk itu kemarin.

Karena tidak mendapat respons seperti yang sudah-sudah dari Aya, mau tidak mau, Jihan pun berteriak saat Ibu Diana lagi konsen-konsennya menerangkan dan teman-teman kelasnya menyimak.

The game Where stories live. Discover now