4

158 24 80
                                    

"Hah... maksud kamu aku setan?" Suara diseberang sana terdengar bingung.

"Hah? Aku nggak ngerasa ngatain kamu. Kamu di mana?"

"Parkiran nih."

Aya diam beberapa saat, sementara matanya sibuk mengamati dengan jeli dari atas sampai bawah, orang yang ia yakini bakal calon sugar daddy itu.

"Aya. Belum nyampe?" Kembali lelaki itu bertanya, membuat Aya mau tidak mau berpaling dan berpikir hendak lari. Akan tetapi kalah cepat karena lelaki itu tahu-tahu sudah masuk dan berdiri di depan pintu, mengedarkan pandangan ke segala arah dengan ponsel menempel di telinga.

Aya bisa saja memanfaatkan situasi dengan kabur dulu ke lantai dua atau pergi ke toilet seandainya ia ingin lari juga, tapi yang ia lakukan hanya terbengong-bengong dengan ponsel juga menempel di telinga.

Beberapa saat kemudian, tungkai Pasha berjalan ke meja yang diisi Aya dengan masih mempertahankan ekspresi sama.

"Pake baju hitam kerudung coklat. Kamu orang yang aku cari. Aya 'kan?"

Aya tidak dapat mengelak lagi. Dengan kepala sedikit mendongak dan mata memerhatikan Pasha yang sudah ada di depan matanya.

Jika boleh menilai, Pasha sedikit berisi dari Faiz. Wajah Pasha juga lebih panjang, tapi kulitnya lebih gelap dari Faiz yang memiliki darah campuran Belgia. Lengannya kekar, tapi tidak se-kekar Kakaknya yang tiap hari gym.

"Boleh duduk nggak?"

Aya hanya mengangguk. Hidungnya sibuk mengendus bau parfume yang ada di sekitarnya. Baunya kuat tapi tidak membuat Aya pusing.

"Selera Om Pasha mahal juga." Ucap Aya di hati sambil mencoba mengingat botol parfume mana yang memiliki bau yang sama seperti milik Ifeh.

"Udah lama?"

Aya mengangguk. Ia merasa tidak enak duduk berhadapan dengan lelaki yang tak dikenal Abahnya, dan sekarang, wajah Abahnya malah terbayang-bayang. Oh sungguh, jantungnya tidak bisa bekerja sama. Bagaimana jika Pasha mendengar degup jantungnya?

"Kamu tegang banget."

"Keliatan ya, Om?"

Kening Pasha tampak berkerut. "Om? Apa aku se-tua itu sampai kamu panggil Om? Kamu bilang.." Pasha menjeda ucapannya cukup lama sambil memerhatikan Aya dengan mata sedikit menyipit.

Kedua tangan Aya berada di atas paha. Kelima jarinya bergerak sendiri, itu adalah efek karena ia membuat kesalahan, memanggil Pasha dengan sebutan 'om'. Ia yakin, kebohongannya tentang umurnya akan segera ditanyakan Pasha.

"Kamu bilang, umur kamu di bawah aku dua tahun, yang artinya dua puluh lima tahun, apa jangan-jangan, kamu bohongin aku? Diliat dari penampilan, kamu kayak masih sekolah tapi mencoba terlihat dewasa."

Karena Aya malas berpikir dan menciptakan kebohongan-kebohongan yang lainnya. Maka ia pilih untuk jujur dan akan berlapang dada seandainya Pasha marah-marah.

Ekspresi Pasha terkejut. Lantas menanyai berapa usia Aya sebenarnya.

"Enam belas, tapi tahun ini udah tujuh belas kok."

Pasha semakin terkejut. Beberapa kali ia  menyentuh kening, mungkin tidak menyangka sudah dibohongi anak di bawah umur.

"Aku rasa kita nggak bisa lanjutin hubungan yang lebih jauh kayak aku bilang di chat kemarin. Kamu terlalu muda buat aku, dan aku terlalu tua buat kamu. Aku nggak mau orang-orang bilang kamu sugar babby aku."

"Om peduliin orang lain? Yang jalanin 'kan kita," Aya mencoba meyakinkan. Lagi pula ia terlalu malas harus memulai mengakrabkan diri dengan orang baru apa lagi itu pilihan Sadawira nantinya.

The game Where stories live. Discover now