11

77 17 70
                                    

Aya merasa risi membangkitkan atensi orang-orang.

Foto dan vidio yang ada di feed instagram Nasya masih ada dengan caption yang masih sama, hanya jumlah likers dan komennya saja yang bertambah.

Sedikit, Aya merasa kesal, karena sang ketua osis tidak mencoba mengklarifikasi tentang foto itu. Faiz seolah menikmati keadaan.

Seandainya Faiz memang kekasihnya, Aya tidak masalah menjadi bahan ghibahan atau ditatap orang-orang yang kebanyakan siswi di sekolahnya dengan judes. Biarkan saja mereka marah karena Faiz memilihnya, tapi ini? Ia sama sekali tidak dapat apa-apa.

Kuping Aya panas sepanjang jalan menuju kelas, melihat siswi-siswi yang berpapasan dengannya secara terang-terangan memerhatikannya, mencela fisiknya. Wajahnya yang tidak se-cantik Keira—kakak kelas yang memiliki suara bagus atau se-smart Michelle sahabat terbaiknya.

Tapi tunggu... kenapa orang-orang terkesan menjodohkan Faiz dan Michelle?

Aya berbalik ketika seseorang merangkul lengannya sok akrab dalam keadaan dirinya sedang berpikir keras.

"Ih... ngapain sih," dengus Aya sambil melepas rangkulan Sadawira. Ia berhasil hanya dengan satu kali sentakan.

"Muka lo kenapa, gue perhatiin hari ini kusut banget, dipanggil-panggil juga nggak nyaut. Perlu disetrika nggak tuh muka."

"Lagi kesel."

"Sama?"

"Sama semua orang di sini, sama singa sama Papa gue."

Sadawira menghentikan langkah Aya, lalu membalikkan badan kurus Aya ke arahnya. "Buat apa dia?"

"Itu lho, dia nggak coba berentiin gosip di akunnya Nasya, dia—"

"Bukan itu, soal Pasha, sugdad lo."

"Ih, jangan kenceng-kenceng. Citra gue sebagai anak yang nggak pengen mencolok bisa tercemar lagi gara-gara bacotan lo."

"Iya maaf. Apa perlu kita ngobrol deket kantin lama biar privacy lo aman?"

"Boleh, tapi traktir susu coklat."

Di sini lah Aya sekarang, duduk di kantin lama yang sekarang tidak begitu banyak orang. Hanya ada satu siswa yang duduk paling ujung sedang menikmati nasi kuning dibungkus daun pisang.

"Kenapa sama Pasha?" Tanya Sadawira setelah duduk di kursi di depan Aya sambil menggeser pesanan Aya tadi.

Wajah Aya semakin muram mendengar nama Pasha disebut. Sadawira rasa, Pasha telah mengkhianati atau malah mencampakkan Aya.

"Tahu nggak Sad, si Pasha ngeblock gue."

"Kok?"

Wajah Aya memerah sebelum menceritakan kejadiannya. Sadawira tahu, Aya benar-benar kesal. "Dia... si ny—"

"Nggak boleh berkata kasar."

"Diem! Gue nggak ada rencana gitu. Lo kalau motong-motong omongan gue, mending nggak usah gue cerita."

"Oke, lo boleh cerita, gue bakal denger sampai abis."

The game Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt