13

57 15 34
                                    

"Lo kenapa ketawa mulu? Minggir! Gue mau ngambil makanan."

Aya pun menggeser tubuhnya ke samping setelah meletakkan kembali es krim pemberian Faiz kemarin di lemari pendingin.

"Abah mau bikin apa sih?" Tanya Aya, ia masih berdiri di tempatnya.

"Mau bikin pisang goreng. Pisang mana sih, Mumi nggak beliin ya tadi?" Moez melongokkan kepalanya, melihat Aya.

Aya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

"Mumi mana?"

"Mumi... Mumi tadi.. nah itu Mumi." Tunjuk Aya begitu melihat Ersya berjalan ke dapur, diikuti Ifeh dari belakang, membawa berbungkus-bungkus belanjaan Ersya lalu pemuda itu letakkan di atas meja makan.

Aya berjengit, mendengar suara cangkir diletakkan ke atas kitchen island. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Ferry Jaelani. Salah satu orang yang ia takuti jika mood pemuda itu sedang tidak bagus. Contohnya seperti sekarang.

"Ferry, kamu ngagetin Mumi sama Abah aja. Itu kalo granit sama cangkirnya retak gimana? Haduh-haduh, darah tinggi Mumi naik lagi nanti."

"Child, Mum. Nggak bakal retak kalo bantingnya nggak pake hati." Jawab pemuda itu sambil nyengir.

Moez menggeleng pelan. Lantas membongkar semua belanjaan Ersya. Lelaki ber-anak lima itu tersenyum samar, mendapati pisang setengah matang ada dalam plastik belanjaan Ersya.

"Feh, kupasin pisangnya, abis itu cu—"

"Waduh nggak bisa banget, Bah. Aku lupa harus ngecek stok minuman di gudang." Lalu pemuda itu langsung kabur dari dapur.

Moez berdecak. Lantas menyuruh Aya yang masih bengong dan menduga Ifeh tengah berbohong, mengerjakan permintaan.

"Anak itu emang daritadi nanyain kapan aku balik. Emang beneran sibuk dia, Bah." Kata Ersya, membungkam mulut Moez yang daritadi mencaci sifat Ifeh.

🌷

Aya menggelengkan kepala sambil menunggu pesanan kopinya dibuatkan. Otaknya selalu ia ajak berpikir, menebak siapa orang yang dimaksud Faiz.

Seandainya Faiz jujur saja kemarin, mungkin Aya tidak akan sekeras ini berpikir, mungkin juga ia tidak akan se-galau ini. Akan tetapi jika Faiz jujur. Apakah Aya sanggup menerima jika ia tidak boleh terlalu percaya pada salah satu temannya.

"Ah... pusing banget." Kata Aya. Ia berhenti berpikir. Kepalanya ia arahkan ke kanan dan mendapati seseorang yang ia kenal tengah bersama seorang perempuan yang membuat Aya berpikir siapa perempuan itu.

Pertanyaan yang diajukan hati Aya kemudian terjawab begitu ia ingat Pasha memblokir nomornya.

"Ohh.. Pasha ngeblok abis ketemu cewek baru. Nyebelin juga tuh orang. Bisa-bisanya dia tinggalin gue tanpa bilang apa-apa. Bisa-bisanya dia bikin gue nunggu kabar dia dan ternyata pengkhianatan yang gue dapat!" Ucap Aya di hati dengan satu tangan terkepal.

Kepalan tangannya terlepas. Kepalanya juga ia arahkan ke sisi lain ketika seorang pelayan membawakan pesanan.

Lama Aya melihat pesanannya seharga tujuh puluh lima ribu. Antara ingin mengguyur kepala Pasha dengan kopi sebagai bentuk rasa kesalnya seperti di film-film atau ia biarkan minum dulu lalu melabrak Pasha.

"Mungkin diminum aja, daripada nggak nyicip kopi mahal." Lagi-lagi Aya bicara dalam hati.

Napas Aya tak beraturan. Dirinya luar biasa kesal. Melihat meja sebelah kanan.

The game Where stories live. Discover now