Chapter 4

136 189 12
                                    

Akhirnya kita sampai di sebuah bangunan yang sangat besar.

"Selamat datang, tuan. Ini surat-surat rumahnya," ucap seseorang yang pernah kulihat di butik saat itu.

Rumah? Ini bahkan sebesar istana kerajaan, apa masih bisa dibilang rumah? Kataku dalam hati.

Allard menerima berkas yang diberikan oleh pria itu. "Kerja bagus, Dion. Kamu bisa pergi sekarang."

"Baik, saya permisi. Oh iya selamat atas pernikahan anda." Kemudian pria itu pun pergi.

Allard menggenggam tanganku. "Ikut aku."
Dia membawaku ke suatu ruangan yang sangat besar.

"Ini kamar kita. Kenapa masih kosong karena aku nyerahin semuanya ke kamu. Kita bakal habisin banyak waktu di sini jadi atur aja sesuai keinginan kamu, tapi aku harap jangan pake warna merah muda di sini," jelasnya.

"Kenapa aku yang atur? Gimana kalo kamu nggak suka dan nggak nyaman?" tanyaku.

"Apapun itu asalkan kamu, aku merasa nyaman," jawab Allard.

Jantungku berdetak sangat cepat ketika mendengar ucapannya itu.

Kenapa jantung aku berdetak cepet banget? Apa aku sakit? Tanyaku dalam hati.

Allard memberikan kartu hitam padaku. "Ini kartu buat beli semua yang dibutuhin. Pake aja sesuka kamu."

Alisku bertaut melihat benda yang diberikannya itu. "Black card? Aku nggak bakal beli banyak barang."

"Buat jaga-jaga aja. Takutnya ada hal lain yang mau kamu beli," balasnya.

"Makasih." Aku menerima kartu hitam itu dan menyimpannya.

"Nggak perlu berterima kasih. Mulai sekarang uangku adalah uangmu juga jadi pake aja sesuka hati kamu," sahutnya.

Hari demi hari berlalu, akhirnya aku menyelesaikan dekorasi rumah ini. Tentu saja aku tidak melakukannya sendiri, aku dibantu oleh sahabatku, asistenku, kak Alvaro, kakek, dan Allard.

"Makasih ya karena kalian mau bantuin aku," ucapku pada kedua orang yang sedang asik memakan es krimnya.

"Santai aja, kita kan sahabat," balasnya.

"Iya nona, sudah sewajarnya saya membantu," jawab Merry.

Sontak aku menatap gadis itu. "Merry."

"Ah iya maaf Alexa, aku masih belum terbiasa," ujarnya yang menyadari kesalahannya.

Aku menghela nafas. "Ini udah 1 tahun sejak aku minta kamu panggil nama dan kamu masih belum terbiasa?"

"Udahlah Alexa. Kamu juga masih belum terbiasa manggil sayang ke Allard, kan?" goda Jessica.

"Jessica!" pekikku.

Gadis itu malah tertawa geli melihat responku. "Maaf maaf."

"Eh sebentar, handphoneku berdering." Aku melihat nama si pemanggil di layar handphone. "Dion?"

Kutekan tombol berwarna hijau itu. "Halo Dion, ada apa?"

"Maaf mengganggu waktunya nyonya, tapi apakah anda bisa ke kantor sekarang?" pintanya dari sebrang sana.

"Ke kantor? Buat apa?" tanyaku bingung.

"Suhu tubuh tuan sangat tinggi dan dia tidak mau istirahat, hanya nyonya yang bisa meminta tuan Allard untuk istirahat," adunya.

"Yaudah, aku ke sana sekarang. Kirim alamat kantornya," ujarku.

"Baik nyonya. Saya akan segera mengirimkan alamatnya sekarang." Teleponnya pun terputus.

Rahasia Keluargaku  ( END )Where stories live. Discover now