I. Peluru

124 17 49
                                    

Atmosfer dalam ruangan salah satu kamar asrama begitu berat kali ini. Bukan karena ia tengah bergaduh atau meladeni tingkah absurd penghuni kamar lain yang begitu mengganggu. Saat ini, ia justru dibuat hampir tidak bisa bernapas akibat todongan pistol dari teman seangkatannya. Datang mengetuk pintu dengan niat meminta bantuan mengerjakan tugas justru berakhir membuat Leiv tertodong pistol.

"Pembunuh." Ucapan sang teman seasramanya itu sama sekali tidak ia mengerti.

Lelaki bermata sipit yang sedang ditodong itu mencoba menjawab meski terbata-bata, "A-apa maksud lo, Er?"

"JANGAN BERLAGAK NGGAK TAU DEH!" Gadis berambut pirang panjang itu menyorot tajam pada Leiv yang masih bertingkah polos. Iris biru khas keturunan barat si gadis yang dipanggil Er itu seakan ingin menguliti Leiv hidup-hidup.

"G-gue emang nggak tau maksud lu apa? Bilangnya mau ngerjakan tugas tapi tiba-tiba main pistol begini." Leiv mulai lancar sekarang. Ia melanjutkan, "O-Oh, gue tau sekarang. Jangan-jangan pistol ini mainan–Arrgghh!"

Satu tembakan Leiv terima di bagian paha. Lelaki itu menjerit, bahkan sampai terguling ke lantai. Sedangkan si penembak masih tetap tak bersuara dengan posisi badan yang sekarang berjongkok di samping Leiv.

"Jangan main-main denganku, Leiv. Gue tau lu yang udah bunuh Marry, adik gue."

"G-Gue gak bunuh Marry, Ervin!"

"Bohong!"

Satu tembakan Ervin lepaskan lagi ke paha Leiv yang tersisa. Pria itu semakin meradang dengan teriakan yang kencang. Pistol yang digunakan Ervin adalah pistol khusus dengan sistem subsonic yang mampu meredam suara sehingga bunyi yang dihasilkan hanya seperti gesekan antara udara dan peluru.

"E-Ervin dengar, gue gak bunuh Marry. Di malam itu pas kita pulang dari club, gue memang ada rencana buat nidurin–" Ucapan Leiv tak terselesaikan karena berteriak setelah kembali mendapatkan rasa sakit akibat tembakan. Kali ini, bagian bahunya menjadi sasaran.

"Manusia hina! Orang seperti lu gak pantas untuk hidup!" Ervin menyudahi kalimatnya sebelum kemudian melepaskan tembakan di kepala.

Gadis itu menghela napas berat. Pelaku pembunuhan adiknya tidak hanya satu orang, mereka satu geng dengan Leiv sebagai salah satunya. Misinya untuk menemukan seluruh pelaku dan membalas dendam akan terus berlanjut. Namun saat ini, yang paling utama ia lakukan adalah membersihkan sisa-sisa pembunuhan yang ia lakukan sebelum ada yang menyadari. Apalagi, kepala asrama rutin melakukan pengecekan setiap pagi.

Ervin mulai membereskan segalanya, membersihkan ruangan Leiv dan mematahkan tubuhnya hingga bisa muat masuk ke dalam koper. Di halaman belakang asrama terdapat sebuah tong sampah logam yang cukup besar. Ervin membakar koper berisi mayat Leiv di sana.

Sesekali, ia melihat ke arah jam tangan yang dikenakan. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia masih memiliki banyak waktu untuk menggali kuburan di bawah pohon besar menggunakan cangkul yang biasa dipakai Rain–salah satu teman satu asramanya–untuk berkebun.

Selesai dengan pembakaran juga penguburan itu, Ervin kembali ke asrama diam-diam. Sungguh, malam ini rasanya keberuntungan berpihak padanya. Ervin tersenyum puas menyadari misinya selesai dengan sempurna.

Seperti biasa yang terjadi di Asrama 300 DC, asrama yang menampung banyak pelajar yang bernaung di bawah 300 DC Academy memulai aktifitas setelah bangun tidur dan bersiap harus berdiri rapi di depan kamar masing-masing.

Kepala Asrama 300 DC beserta para bawahannya mulai memeriksa satu persatu kamar untuk memastikan pelajar yang tinggal di sana disiplin dalam hal kerapian dan kebersihan. Usai melakukan pengecekan, seluruh pelajar dikumpulkan di ruangan tengah untuk mulai diabsen.

"Ananda Rain Hutabarat?" Kinan–Kepala Asrama–mulai mengabsen.

"Hadir." Orang yang dimaksud pun menjawab disertai dengan tangan yang diacungkan.

Begitupun selanjutnya. Setiap nama dalam satu angkatan dengan jurusan yang sama itu dipanggil satu persatu.

"Ervin Samantha?"

"Hadir." Ervin menjawab.

"Leiv Ackardia?"

"Hadir."

"Nggak mungkin!" Ervin secara spontan berteriak.

Seluruh atensi dari orang-orang di sana langsung menyorot ke arah Ervin yang sekarang gemetaran. Suara yang menjawab absen dari Kinan persis dengan suara pria yang sudah dibunuhnya tadi malam.

Jantung gadis itu berdebat hebat, tangannya mengepal, tak luput pula keringat dingin yang mengucur di badan. Dengan takut-takut, Ervin menoleh ke belakang, ke sumber suara dari jawaban tersebut.

"L-Leiv ...." Bola mata Ervin seakan bisa melompat keluar. Keterkejutannya tak lagi bisa dibendung. Di belakang dirinya, hanya berjarak sekitar dua meter jauhnya, Leiv sedang berdiri dengan senyuman manisnya yang seperti biasa.

"Selamat pagi, Ervin," ucap Leiv dengan begitu santai.

Tidak ada interaksi apapun lagi setelah itu. Masing-masing orang di sana kembali ke Kepala Asrama yang sedang memberikan arahan. Mereka semua mengabaikan Ervin yang sedang dilanda ketakutan akibat Leiv yang semakin dekat dengannya.

"Peluru yang lo tembakin semalem, benar-benar menyakitkan."

Ervin terjatuh di lantai. Gadis itu ... pingsan.

Author: _restiqueen_

ASRAMA 300 DC (SEASON 2)Where stories live. Discover now