VII. Kesepakatan

54 9 41
                                    

"Apakah begini caramu berterima kasih dengan penolongmu?"

Tak ada sedikit pun nada mengancam dari kalimat tersebut. Bahkan Joshua tersenyum tipis dengan gestur ramah. Namun, Shera tak akan tertipu begitu saja. Ia tahu dengan baik siapa Joshua. Seorang Auror yang tak lain adalah teman sekamar dari Kairo—musuh Shera.

Pertanyaannya, kenapa sosok berjubah hitam itu bisa menjadi Joshua? Seseorang yang sangat mustahil berada pada list orang yang kemungkinan datang membantu Shera.

"Kenapa diam? Perkelahian dengan Kairo membuatmu bisu?"

"Mengapa kamu?" Meski takut, Shera tak dapat menahan pertanyaan tersebut untuk tak terlontar dari mulutnya. Joshua seharusnya tak punya alasan untuk membantunya. Sebaliknya, alih-alih menyelamatkan, lebih masuk akal untuk Joshua membantu Kairo membunuhnya. Sebab, Joshua teman Kairo dan Shera adalah buruan Kairo.

Lagi-lagi, sosok berkemeja biru itu tersenyum kecil. Kalau seandainya Shera tak tahu siapa Joshua sebelum ini, ia pasti telah jatuh pada tipuan wajah ramah tersebut.

"Mengapa aku?" Alih-alih menjawab, Joshua malah melempar pertanyaan balik. "Kenapa harus aku? Menurutmu kenapa aku yang membantumu?"

Untuk sesaat Shera terdiam, ujung matanya melirik jendela yang terbuka. Menghitung berapa persen kemungkinan untuk melarikan diri. Namun, mengingat keadaannya sekarang. Shera tak memikirkan perihal pelarian lebih lanjut dan kembali menaruh perhatian pada Joshua.

Sampai saat ini, meski matanya telah menyakinkan diri kalau orang di depannya adalah Joshua. Shera masih tak menyangka, kenapa harus Joshua?

"Tak dapat menjawab?"

Lagi-lagi hening, Shera agaknya sama sekali tak berniat menjawab. Meski begitu, otaknya telah ramai berdebat mengenai kemungkinan-kenungkinan alasan Joshua membantunya. Dari mengkhianati Kairo hingga hanya ingin membantu karena kasihan. Namun, alasan terakhir sebaiknya dicoret. Walau ramah, tampang Joshua tak menunjukkan jejak kasihan sama sekali.

Lelaki itu sabar menunggu jawaban Shera. Ia membuat banyak jeda dengan berjalan ke arah sofa di dekat jendela, duduk di sana kemudian menatap arak-arakan awan. Seakan-akan Joshua memang tak mengharapkan jawaban dari Shera. Lelaki itu tak peduli.

"Masih tak dapat menjawab?" tanyanya pelan tanpa menatap Shera.

Tak ada jawaban.

Joshua menghela napas. "Yah, seharusnya aku tak berharap apa pun pada gadis bodoh seperti kamu."

Lirihan tajam Joshua tepat menusuk jantung Shera. "Aku tidak bodoh, dasar penghianat!"

Ingin rasanya Shera mencabik-cabik wajah Joshua dan melemparkannya ke luar jendela. Kalau perlu potongan tubuhnya akan ia jadikan hadiah untuk Kairo. Lelaki itu pasti marah luar biasa ketika tahu teman dekatnya terbunuh di tangan Shera. Namun, dibanding melihat Joshua terbunuh, Kairo pasti lebih sakit dan marah saat tahu Joshua menghianatinya.

"Pengkhianat?" Sebelah alis Joshua terangkat, hilang sudah wajah ramahnya. "Menolong orang lain tak bisa dibilang penghianat"

"Tapi kamu menolong musuh dari temanmu." Dalam kasus mereka, Joshua bahkan menolong Shera tepat Kairo akan membunuhnya. Di detik-detik penting dalam hidup Kairo.

Siapa sangka, Joshua malah tertawa kecil. Tawa yang sukses membuat Shera merinding.

Dengan badan bersandar sepenuhnya pada sandaran sofa, Joshua menatap Shera lamat-lamat. Tutur katanya terdengar beberapa saat kemudian. "Teman? Musuh? Tidak ada istilah teman dan musuh abadi di dunia ini Shera. Semuanya berubah-ubah tergantung siapa yang akan memberi keuntungan lebih besar."

ASRAMA 300 DC (SEASON 2)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora