III. Hujan

103 13 113
                                    


"Halo, Rara."

Wajah di layar ponsel itu tampak lesu. Namun, itu tidak mengurungkan niat Rara untuk menyambutnya dengan ucapan penuh kekesalan. "Bang Dante akhir-akhir ini susah banget dihubungi. Padahal banyak yang pengen aku omongin."

Sosok di seberang telepon, Andante Justitia, hanya bisa membuang napas panjang. Menjadi mahasiswa hukum semester akhir sudah cukup melelahkan. Sekarang dia masih harus meladeni adiknya yang paling cerewet ini. "Ya, gimana ya? Ini aja aku lagi pusing sama revisian. Organisasi juga lagi bikin banyak kegiatan. Jadinya nggak sempat angkat telepon kamu kalo siang-siang."

"Hm, mulai dah. Calon pengacara, si paling banyak acara," respons Rara dengan nada meledek.

"Heh, ini juga supaya Ibu jadi senang!"

Obrolan berlanjut. Kurang lebih seperti percakapan normal kakak beradik yang tinggal berjauhan. Rara lebih banyak bicara soal kegiatan rutinnya di asrama. Dengan penuh semangat, tak lupa Rara juga menceritakan hal menarik yang terjadi hari ini. Untungnya Rara adalah salah satu siswa yang tidak memiliki teman sekamar. Sehingga, tidak ada yang terganggu oleh suara cempreng itu.

"Segitu aja?" tanya Dante memastikan."Kalo gitu, udah dulu, ya. Kamu jaga diri di sana. Buona notte."

Rara mengernyit bingung. "Bahasa alien dari planet mana tuh, Bang? Nggak ngerti."

"Selamat malam, Ra." Sedikit sebal, dia menerjemahkan ucapannya barusan. "Masa keturunan Italia nggak bisa bahasa Italia. Malu-maluin tau."

"Bang Dante lebih malu-maluin. Sukanya makan spageti pake nasi." Rara membalas, menjulurkan lidah.

"I-itu namanya akulturasi budaya. Kamu aja yang nggak ngerti."

Gadis itu mati-matian menahan tawa. Bisa-bisanya si calon pengacara tidak bisa membela diri sendiri dengan alasan yang masuk akal. "Bukannya biar langsung kenyang, ya?"

"Udah, udah. Ini udah setengah dua. Tidur sana."

Panggilan video berakhir. Rara yang masih terkikik melemparkan ponsel ke atas ranjang, sementara dia berbaring menatap langit-langit.

Lampu neon menyala lembut. Namun, yang terbayang adalah sebuah kandelir dengan kristal-kristal berkilau. Rara mengangkat telapak tangan, lantas mengepalkannya erat. Ekspresinya berubah muram. "Ayah ...."

*

Hari berikutnya hanyalah hari biasa untuk Rara. Menjalani kegiatan rutin di asrama, kemudian berlatih sendiri di ruang musik sore harinya. Namun, satu hal yang berbeda. Perempuan itu memutuskan untuk memainkan Chopin Etude No. 4, "Torrent".

Jemarinya bergerak lincah di atas tuts hitam putih, menciptakan harmoni sesuai partitur yang terekam dalam kepala. Jantungnya seperti berdetak lebih cepat, layaknya nada-nada yang mengalir deras.

Ingatannya kembali menjelajah ke peristiwa di masa lalu. Berkeringat di ruangan dingin. Memainkan Chopin Etude di hadapan ratusan pasang mata sebagai peserta kontes piano. Rara kecil, sang pianis genius, seakan bersinar lebih indah daripada kandelir yang menjadi penerang utama.

Dia tersenyum tipis ketika berhasil melewati separuh permainan tanpa kehilangan kontrol pada tempo. Dia tahu, di kursi penonton, ada seseorang yang akan tersenyum bangga. "Ayah, lihat aku."

Untuknyalah Rara bermain. Seluruh keringat, air mata, bahkan darah yang menetes di kontes ini. Segalanya ia dedikasikan untuk pahlawan keadilan, pembela kaum tertindas, serta kesatria pelindung keluarga Justitia. Sang ayah yang dikaguminya.

Permainan Rara memasuki koda. Penonton tampak semakin kagum, begitu juga dengan beberapa juri. Hingga tak ada satu pun yang menyadari bahaya tengah mengancam. Kandelir di atas mereka bergoyang. Pelan pada awalnya, lama-kelamaan menjadi semakin tak stabil. Seakan gravitasi bisa menghempaskannya kapan saja.

ASRAMA 300 DC (SEASON 2)Where stories live. Discover now