ARUTALA 17 | Masih Tertidur dengan Luka

115 22 29
                                    

HAPPY READING



"Kalian berdua mau sampai kapan terus kayak gini? Mauren itu anak kalian, dia kecelakaan dan kalian masih belum menemuinya? Bahkan kalian tidak tahu Mauren sudah sadar atau belum," ujar Warman kemudian menghembuskan nafasnya lelah.

"Orang tua macam apa kalian ini? HAH?" lanjut Warman dengan dengan nada tinggi.

Warman dan Nimah melakukan perjalanan jauh dari Malang menuju Bandung setelah mendengar kabar Mauren kecelakaan dari Maheer. Saat sampai di Bandung, mereka dikejutkan oleh sikap Fikar dan Alma yang terlihat acuh kepada Mauren.

"Sudah lima hari anak kalian di rumah sakit, tidak sedetikpun kalian meluangkan waktu untuk menjenguknya?" Alma dan Fikar hanya menunduk mendengarkan Warman tanpa berniat membalasnya.

"Cepat kalian pergi dan lihat keadaan anak kalian. Bagaimana kalian bisa diam saja seperti ini, tidak ada rasa khawatir sedikit pun?"

Fikar dan Alma saling memandang satu sama lain. Entah keberadaan kalinya Warman menghembuskan nafas kasar melihat ekspresi orang tua di depannya ini.

"Jika kalian tidak ingin mengurus Mauren, saya akan membawa dia ke Malang. Saya akan mengurusnya dengan baik," cetus Warman membuat Fikar terhenyak kaget.

"Saya juga akan buktikan kalo foto yang tersebar itu bukan Mauren, itu semuanya hanya rumor."

.

Sang rembulan menyapa dengan sinarnya yang memberikan secercah cahaya pada sang kegelapan. Diiringi irama angin yang berhembus menembus pori-pori, begitu dingin namun menyegarkan. Seorang lelaki berdiri di depan jendela, menatap kosong sang rembulan dengan sebuah kalung di tangannya dengan liontin bertuliskan nama 'Mauren Sayeeda'.

'Apa kabar gadi itu sekarang?' -batinnya.

Sudah dua hari ia tidak mengunjungi rumah sakit dimana tempat gadis itu dirawat. Menjadi mahasiswa yang kini tengah menjalankan study-nya sangat sibuk sehingga ia tidak sempat pergi ke rumah sakit untuk sekedar melihat Mauren dari kejauhan.

Tok tok tok!

Terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. "Masuk," ucapnya kemudian menyimpan kaling yang sejak tadi ia pegang ke dalam laci.

"Aa, Bunda mau bicara sebentar," ucap sang bunda sambil duduk di pinggir ranjang.

"Ada apa Bunda? Kayaknya serius," balasnya kemudian duduk di samping Bundanya yang tampak tersenyum menatap dirinya.

Bundanya mengambil tangan lelaki itu, mengusapnya pelan menyalurkan kasih sayang. "Kamu sekarang udah besar ya, A."

"Iya dong bun, masa kecil. Kan Bunda kasih makan," ucapnya sambil tertawa kecil.

"Kamu kapan bawa gandengan ke rumah? Liat tuh anaknya bu Titi yang masih kelas 10 SMA, kemarin bawa pacarnya ke rumah. Kamu kapan?" tanya Bundanya.

Lelaki itu tersenyum. "Bunda, pacaran itu mendekati zina. Umi selalu bilang, Wa la taqrabuz-zinā innahu kāna fāḥisyah, wa sā'a sabilā. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."

Bundanya tertawa renyah mendengar jawaban polos dari sang anak. "Haha, aduh anak bubda pinter banget. Ututu," ucapnya sambil mengusap puncak kepala anak laki-lakinya itu.

"Tapi maksud Bunda bukan pacaran, kamu nggak peka ish, ah sudahlah jangan dipikirkan. Anak jalu Bunda ini badannya doang yang gede jiwanya masih anak kecil. Belum tau apa-apa," ucap sang bunda.

Pikiran lelaki itu malah terbang ke mana-mana, lebih tepatnya memikirkan gadis korban tabrak lari yang ia tolong yang tidak lain adalah Mauren.

.

Mata Maheer terlihat terbuka melihat pergerakan pada tangan Mauren, iris mata hitam legam milik laki-laki itu menatap wajah adik kembarnya sendu. Ia mengenggam tangan kurus milik gadis itu, tangan satunya lagi bebas membelai wajah Mauren. Ini yang Maheer tunggu sejak lima hari, kesadaran Mauren.

Pada hari ke tiga setelah kecelakaan, Mauren kembali kritis dan dialihkan ke ruang ICU. Maheer begitu setiap menunggu adiknya bangun, ia tidak kuat melihat Mauren terus terbaring lemah dengan keadaan koma.

"Mauren, kamu bisa denger suara saya?"

"Umi," lirihnya.

Mendengar satu patah kata yang berhasil lolos dari mulut Mauren membuat dada Maheer sesak, seharusnya Alma berada di sini menunggu Mauren sadar. Sangat disayangkan bahkan uminya itu tidak pernah satu kali pun menginjakkan kaki ke lantai rumah sakit ini untuk menjenguk Mauren.

"Umi," lirihnya lagi. Kemudian suara EKG meneror telinga Maheer, ia segera memencet bel agar dokter dan perawat datang.

Maheer menunduk dalam meresapi setiap sakit di hatinya. Tidak lama kemudian, seorang dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruangan minimalis yang beberapa hari ini menjadi tempat Mauren berbaring.

"Biarkan saya memeriksanya, anda bisa tunggu di luar sebentar."

Lelaki itu memandang Mauren melewati kaca kecil pada pintu dengan perasaan harap-harap cemas melihat Mauren kembali seperti tiga hari lalu, saat ia dialihkan keruangan ini.

"Mauren kenapa lagi, nak?" tanya Warman yang baru saja datang.

"Tadi Mauren sepertinya sadar, akan tetapi ia jadi seperti itu. Saya tidak tau," balasnya menatap Warman dengan mata sayu.

Nimah membawa Maheer ke dalam dekapannya melihat lelaki itu tampak lelah dengan keadaan ini. "Adik kamu pasti akan segera sadar dan sembuh seperti sedia kala," ucap Nimah mencoba untuk menenangkan Maheer.

"Saya takut," lirih Maheer.

"Mauren hanya tertidur sebentar, gadis itu membutuhkan istirahat dari dunianya yang keras," ujar Nimah

"Tapi dia tertidur dengan luka," timpak Maheer.










TBC




Gimana nih part kali ini?
Jangan lupa VOTE dan KOMEN














ARUTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang