ARUTALA 19 | Anak Tidak Diakui

168 24 19
                                    

HAPPY READING

Masalah bentuk kekerasan untuk membentuk manusia agar lebih kuat
-Maheer Faizan Al Faris

Maheer membuka helmnya kemudian turun dari motor sportnya, lelaki itu kembali ke sekolah tanpa sosok Mauren gang menumpang di jok belakang. Seorang gadis berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan, dia adalah Arin.

"Al Faris!" srunya.

Laki-laki itu menoleh pada Arin, ia mengernyitkan alisnya seolah bertanya 'ada apa?'

"Gimana keadaan Mauren? Dia udah sadar belum?" tanya Arin pada Maheer. Laki-laki itu menghela nafas perlahan, berat rasanya jika ia mengingat adik kembarnya.

"Belum."

Maheer melangkahkan kakinya pergi, Arin juga ikut mengekor sambil mengoceh. Jujur Maheer sangat lelah, ia hanya menghela nafas kasar sambil mendengarkan gadis di belakangnya ini.

"Aku pengen jenguk Mauren," cetus Arin. "Nanti pulang sekolah kita ke rumah sakit yu, anter aku dong Al."

"Mauren di Malang," jawab Maheer singkat.

Arin mengernyitkan alisnya. "Maksud kamu gimana, Al?"

"Mauren sekarang di rumah sakit Malang?"

Maheer menganggukkan kepala pelan.

Gadis itu bisa merasakan bagaimana kondisi Maheer, laki-laki itu tampak letih, di bawah matanya pun terlihat garis hitam. Sikap Maheer pun berbeda, terbukti pada saaat Arin mengekori Maheer biasanya lelaki itu akan marah-marah, namun tadi Maheer hanya meliriknya malas.

Maheer tersenyum hampar melihat Ravel melintas di depan matanya, tidak terlihat rasa kasihan sedikit pun pada adik kembarnya yang lelaki itu jadikan kekasih selama ini. Ditatapnya tajam wajah Ravel yang pura-pura tidak melihat keberadaannya. Bajingan, ucapan cintanya pada Mauren hanya hal belaka. Jika benar-benar mencintai, tidak mungkin membuang rasa semudah itu. Bahkan kata perpisahan pun belum terucap.

"Pak Ravel!" seru Maheer berlari ke arah guru muda itu, Arin yang sejak tadi mengekor sontak ikut berlari meski langkahnya tidak bisa mengimbangi.

Laki-laki berpakaian rapi itu menoleh. "Ada apa?"

"Saya ingin bapak mengucapkan perpisahan secara resmi pada Mauren," ucap Maheer.

"Jangan bawa-bawa urusan pribadi di sekolah," hardik Ravel tidak suka.

"Lagi pula gadis jalang itu sedang tidak sadar, buat apa saya mengucapkan perpisahan pada manusia yang berada di antara hidup dan mati? Hanya buang-buang waktu saja," lanjut Ravel.

Maheer mengepalkan tangannya sehingga urat-uratnya terlihat jelas, amarahnya terpancing saat Ravelenyebut adiknya seorang jalang. Lelaki itu menghembuskan nafasnya perlahan mengontrol emosinya agar tidak meletup.

"Jangan sebut saudari saya jalang!" bentak Maheer.

"Dia memang jalang," ujar Ravel santai sambil menyunggingkan senyum. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya mendekati telinga Maheer, kemudian ia berbisik. "Saya pernah memakainya."

Guru muda itu menatap wajah Maheer yang sudah memerah, sebelum pergi ia menepuk pundak Maheer sambil tersenyum menyebalkan. Pantaskan seorang seperti itu disebut guru? Ah sudahlah, memikirkannya saja sudah membuat Maheer mual. Tidak mungkin saudarinya menyerahkan mahkotanya pada lelaki itu.

ARUTALAWhere stories live. Discover now