ARUTALA 24 | Siapa Kamu?

168 21 10
                                    

HAPPY READING

Pesta kini tengah menapak pada acara puncak, Fikar tampak lebih sibuk dibanding dengan tadi sehingga perhatian pada anak-anaknua semakin kendor. Seorang laki-laki jangkung berjalan ke arah Fikar, seperti ia tamu yang baru saja datang.

"Malam Pak, maaf ayah saya tidak bisa hadir. Jadi saya yang menggantikan," ujar laki-laki tersebut sambil menyalimi Fikar.

Fikar mengernyitkan alisnya. "Kamu anaknya Pak Khoir?"

"Iya."

"Silahkan dinikmati pestanya." Fikar mempersilahkan.

Dari arah pintu masuk, terlihat Maheer baru saja sampai. Fikar mengedarkan pandangannya mencari sosok Lauren, namun nihil sosok yang ia cari tidak ada di sana.

"Mauren kemana A? Bukannya abi udah bilang, jagain Mauren, jangan sampe Mauren pergi sendirian."

"Mauren pulang bi," balas Maheer.

"Pulang? Sama siapa? Supir?"

Maheer mengangguk memberikan jawaban. Air wajah Fikar seketika berubah, pria itu tampak begitu khawatir pada Mauren. Sesekali ia membuang nafas kasar, ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya menandakan kegelisahan.

"Biarin aja bi, dia pasti bosen, di sini juga cuman duduk-duduk doang." Suara Alma membuat Fikar dan Maheer menoleh secara bersamaan pada wanita yang berjalan mendekat pada mereka.

"Tapi--"

Alma mengusap punggung Fikar memberikan ketenangan. "Sudah bi, jangan terlalu berlebihan. Dia cuman bikin malu kita aja bi," ucap Alma.

"Kamu diam saja!" seru Fikar kesal kemudian pergi meninggalkan Alma.

Seperti ada keributan kecil, atensi seseorang beralih pada Fikar serta Alma. Ia menatap pemuda yang sedang berdiri diam di samping Alma, pemuda itu tampak tidak asing di matanya. Tapi dimana ia bertemu pemuda tersebut?

.

Gerimis melanda kota Bandung, kata orang Bandung akan terlihat estetik ketika turun hujan. Dingin angin malamnya begitu menyergap jiwa yang kesepian, ditambah suara rintikan hujan membuat melodi kesedihan semakin terasa. Mengundang buliran kristal dalam mata terpancing keluar, setetes demi tetes yang akhirnya mengajak sungai di pipi.

Mauren hanya bisa merasakan dinginnya malam, tanpa bisa melihat semua hilir mudik kehidupan. Ia ingin melihat langit malam dengan bintang dn bulan, seperti yang ia lihat bersama Agatha di balkon rumahnya. Menyesal, ia tidak pernah mendongak menatap langit dari sudut pandang berbeda. Mungkin saat itu, kali pertama dan terakhirnya ia menatap langit dengan segala keindahannya.

"Bu, manusia di muka bumi ini banyak, namun mengapa Tuhan menumpahkan segala ujiannya ke gua?" Mauren berbicara pada kucing kesayangan uminya itu. Ia mengelus bulu lembut Bubu.

"Umi jahat bu, beliau suka ngata-ngatain aku. Eum, umi pasti malu punya anak buta kayak gua."

"Gua bukan anak penurut, umi pasti kesel banget. Wajar kan kalo marahin gua? Tapi gua sakit bu." Mauren memegang dadanya, "di sini, di dalam ini rasanya sesak."

"Kamu jangan ngadu ke umi ya?"

Kucing itu hanya menduselkan kepalanya pada Mauren memcari kenyamanan. Mauren tersenyum simpul, kemudian ia mengusap air matanya yang sejak tadi mengalir. Ia mulai bebaringkan tubuhnya, lelah, gadis itu ingin beristirahat untuk mengisi energi.

ARUTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang