Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian

967 127 116
                                    

Di tengah hiruk-pikuk IGD petang itu, seorang gadis datang terseok-seok. Perut dipegangi, wajahnya pucat pasi. Ia menyodorkan KTP dan kartu jaminan kesehatan untuk mendaftarkan dirinya sendiri.

Karisma Atmariani namanya. Hari ini ulang tahun yang ke dua puluh empat. Hadiah terbaik untuk dirinya sendiri adalah datang ke rumah sakit setelah sebulan penuh tak ada perbaikan dari sakit di ulu hatinya yang ia duga sebagai maag, penyakit yang menemaninya hidup dari SMA hingga menjadi seorang pekerja.

Dua hari terakhir penyakit maag itu jadi makin parah. Tiap hari muntah air berwarna kuning kehijauan yang rasanya membakar tenggorokan. Makin hari makin susah untuk memasukan barang sesuap-dua suap nasi ke perut sebab rasanya kenyang sepanjang hari.

Ia menolak berbaring di kasur, duduk tegak sambil menanam mindset bahwa ia baik-baik saja, hanya kelelahan dan butuh obat injeksi. Tak sadar diri kalau keringat dingin sudah membasahi tubuh, mata berkunang-kunang dan napas tersengal-sengal.

Suara di bilik kanan dan kiri begitu mengganggu. Orang muntah menularkan rasa ingin muntah. Orang menangis menularkan rasa ingin menangis. Orang yang sedang melenguh-lenguh menarik untuk dibalas dengan lenguhan atas sakit yang menggerayangi perutnya.

Bukan hanya sakit perut yang mengganggu tapi juga kepala dengan segala pikiran yang tak terkendali. Kemungkinan mati hari ini yang persentasenya tidak diketahui. Kecewa karena orang tua yang menolak keputusannya pergi ke rumah sakit. Kesepian yang melandanya di tengah keramaian.

Ris, begitu gadis itu akrab disapa, berjengit kaget ketika seorang dokter menyibak tirai biliknya di IGD. Seorang perempuan yang masih terlihat muda, tentu bukan dokter koas karena rumah sakit swasta ini bukan rumah sakit pendidikan. Dokter itu melempar senyum tapi yang jadi fokus Ris adalah nama yang dibordir di scrub si dokter, dr. Adila Dwi Putri S.

"Selamat malam, saya Adila, dokter jaga IGD malam ini." Ramah bukan main dokter satu ini, begitu cantiknya luar biasa.

"Malam," jawab Ris lemah sambil memaksakan senyum agar tetap sopan.

Adila berpikir kalau senyum di wajah orang sakit itu tak perlu. Adila bukan bos si pasien aneh yang datang sendirian ini jadi sungguh senyum basa-basi itu tidak perlu dipaksakan. Pun Adila tak bisa berkata apa-apa.

Adila mendorong Ris untuk berbaring di kasur. Ya, orang sakit mana yang datang ke IGD tapi masih sok kuat seperti itu. Ris adalah orang pertama yang Adila temui kondisinya seperti ini. Senyam-senyum sambil menahan sakit.

"Apa keluhannya?" tanya Adila hati-hati.

"Tanggal 30 Mei saya demam tinggi, nyeri tenggorokan disertai sakit di ulu hati. Tanggal 1 Juni ke puskesmas dan diberi obat Lansoprazole, dokternya bilang kalau dalam seminggu tidak pulih saya akan dirujuk untuk endoskopi-" Ris menjelaskan, Adila menyimak sambil menghitung hari, tiga puluh Mei itu sekitar satu bulan setengah yang lalu.

"Sejak hari itu saya tidak bisa makan lebih dari dua sendok nasi. Kalau lebih biasanya mual dan ingin muntah-" Adila ingin bertanya sampai kapan itu terjadi namun urung sebab ia berpikir lebih baik mendengar penjelasan Ris sampai selesai sebab terlihat jelas kalau Ris masih memiliki banyak penjelasan.

"Tanggal 15 Juni, saya ke puskesmas lagi karena feses saya berdarah. Dokternya memberi saya obat antihemoroid tapi karena merasa kurang percaya saya ke klinik dan diberi Lansoprazole lagi."

"Tidak ada perubahan sama sekali dan dua hari yang lalu, 8 Juli kalau tidak salah rasa sakit di ulu hatinya semakin sakit dan sejak saat itu saya belum makan sama sekali."

Tanpa basa-basi lagi, gelang pasien terpasang di pergelangan tangan kanan Ris, infus di punggung tangan kiri, ia tak boleh duduk lagi dan hanya bisa berbaring. Kondisinya tentu tidak baik-baik saja.

Get Well SoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang