Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris

370 39 14
                                    

Matahari belum terbenam, waktu baru menunjukkan pukul lima. Diani baru selesai shalat Ashar setelah kebut-kebutan dari kantornya ke rumah sakit, sementara Ris berbaring di kasurnya, ketika Adimas datang terlalu cepat daripada biasanya.

Senyum teduh terulas di wajah sang dokter. Lelaki itu tampak necis karena hari ini memakai kemeja kotak-kotak yang dipadu snelli serta celana jeans. Sepatunya senada dengan kemeja, menambah kesan penampilan yang bagus.

Ris membalas senyum Adimas. Bangkit dari tidurnya untuk mendengar apa yang kiranya akan diberitahu sang dokter dari hasil USG kemarin. Cemas menggerayangi, memberikan sensasi geli di dada. Antara takut dan khawatir, bercampur lega bila tahu apa masalahnya.

Adimas duduk di tempat favoritnya dengan tablet pintar di pangkuan. Dari jarak segitu, Ris bisa mencium aroma segar dari si dokter kepala tiga itu, aroma yang membawa ketenangan mengalahkan aroma antiseptik khas rumah sakit.

"Gimana kondisinya sekarang, Ris?" tanya Adimas membuka sesi visit hari ini.

Hari Minggu kemarin, walau tamu berdatangan membesuk Ris bergantian. Bermodal earphone wireless pemberian atasannya waktu Ris pertama kali masuk penerbit, dia bisa tidur nyenyak sepanjang siang.

Segala perkataan tak didengar. Kata Adimas, Ris sensitif dengan perkataan, sama dengan Adimas kalau boleh jujur. Sementara penyakit dalam identik pula dengan ketenangan jiwa, pikiran yang amburadul pada akhirnya jadi biang naiknya asam lambung. Jadi, Ris memutuskan untuk beristirahat tanpa mendengar apa pun.

Bahkan ketika pasien di sebelah meninggal kemarin pagi, Ris terlelap dengan suara hujan dan perapian yang membuai telinganya. Menghindari yang tidak-tidak, sementara menutup pintu empati untuk kesembuhan diri.

Jadi, untuk pertanyaan Adimas, Ris pun menjawab, "Sudah membaik."

Adimas kali ini tak lagi memeriksa isi perut Ris dengan stetoskopnya. Terlihat menyiapkan sesuatu untuk dibahas kalau Ris sudah siap.

"Ris, kalau di kantor, setiap hari minumnya apa?" tanya Adimas.

"Kopi," jawab Ris pelan. Jantungnya berdetak cepat seperti sedang diuji.

"Kopi apa?" tanya Adimas.

Kopi minimarket stasiun yang hampir setiap hari. Segala varian rasa dia coba, diminumnya sedikit-sedikit supaya hemat, ditaruh dalam gelas double wall yang bisa awet menahan dingin berjam-jam.

"Kopi seduh gitu ya?" Adimas memastikan dan Ris menjawab dengan anggukkan.

"Kalau es krim malaikat pencabut ruko kosong, suka?" tanya Adimas. Ris mengangguk, tak menambahkan kalau hampir setiap Ris menyelesaikan proyek dia beli es krim itu.

"Kalau makanan, Ris suka apa?" tanya Adimas lagi.

"Karedok leunca," jawab Ris dengan antusias.

"Kalau aku suka gudeg." Adimas membalas membuat Ris tertawa. "Perbedaan lidah Jawa dan lidah Sunda, ya."

"Kayak jeroan sapi, ayam, gitu suka gak? Biasanya kan di restoran Sunda jadi andalan, ya?" tanya Adimas lagi.

"Suka," balas Ris, lagi tak memberi tahu bahwa kalau ada pencapaian, Ibu akan masak banyak usus sapi khusus hanya untuk Ris.

Adimas mengangguk-angguk, kini dia membuka tabletnya yang memperlihatkan profil rekam medis Ris pada bagian hasil radiologi. Ris yang tadi mulai tenang kembali tegang.

"Aku jelaskan hasil USG dan diagnosa sementaranya, ya." Adimas memulai tepat ketika Suryadi masuk dengan terburu-buru.

Suryadi tampak mengatur napas. Dia terburu-buru dari poli, setengah berlari bahkan, ketika mengetahui Adimas akan visit lebih awal karena hendak pulang cepat untuk makan malam keluarga dalam rangka merayakan yudisium adik bungsunya.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now