Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani

421 55 37
                                    

"Ya sok minta maaf sana sama orang-orang. Kamu mungkin banyak bikin orang sakit hati makanya begini."

Ris adalah pendosa sampai dihukum sakit oleh Tuhan. Kesimpulan itu Ris dapatkan dari Ibu yang enggan mendengar keluhan Ris, mengabaikan fakta bahwa Ris sudah jumpalitan menahan sakit.

"Banyak-banyak bertaubatlah." Finalnya itu yang dikatakan Ibu sebelum pergi ke luar kota.

Dengan wajah tertekan, kerut-merut menahan emosi, Ibu menyetir untuk kakak-kakaknya hendak besuk kakak sulungnya di Jakarta. Serangan jantung katanya, dengan kondisi miskin tak punya uang.

Waktu itu keringat dingin telah membanjiri tubuh Ris. Sudah kali ketiga muntah air yang membakar kerongkongan tapi yang Ibu sepakati adalah Ris bertaubat daripada pergi ke dokter.

Sudah sebulan. Sakitnya sudah sebulan. Sempat Ris berpikir membiarkan dirinya untuk meregang nyawa di rumah saja hingga akhirnya ia memilih untuk bertahan hidup dengan pergi ke rumah sakit sesaat setelah Ibu pergi.

Mengingat itu hampir membuat Ris gila. Kenyataan bahwa semua tidak sesuai rencananya. Dipikir dengan obat injeksi saja cukup untuk menghilangkan rasa sakitnya, nyatanya infus terpasang mengekang pergerakan Ris.

Petang itu sepi. Yang terdengar hanya gradak-gruduk troli didorong dari satu ruangan ke ruangan lain, bunyi mesin medis yang entah untuk apa dari bed sebelah beserta dua orang yang berbincang samar-samar.

Ris menarik kursi tunggu pasien ke dekat jendela. Langit yang mulai menggelap berpadu dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan dan kendaraan yang berlalu lalang. Dari sana, tampak stasiun besar kota yang ramai di jam pulang kerja.

Hiburan bagi Ris sementara ini. Membayangkan dirinya ada di tengah keramaian itu. Turun dari kereta, keluar dari stasiun menuju tempat parkir untuk mencari motor yang diparkirkan di sana. Seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali karena seringnya ia bekerja dari rumah.

Jalan sedikit dari stasiun ke arah menjauhi rumah sakit, ada tukang bubur ayam yang porsinya melimpah tapi harganya murah. Langganan Ris pagi dan sore kalau tak sempat makan di rumah. Penjualnya ramah, dipanggil si Pak Gundul karena tak punya rambut.

Di ruang tunggu kereta ekonomi, ada penjual roti salman. Roti pipih khas timur tengah yang manis-gurihnya pas. Ada banyak pilihan rasa tapi yang paling Ris suka rasa cokelat-keju atau original. Harganya hanya lima ribu, lumayan untuk camilan di kantor nanti.

Minimarket di stasiun itu menawarkan kopi. Kopi hitam yang harum dengan gula yang mudah larut adalah kesukaan Ris. Minumnya sedikit-sedikit, dibawa dengan gelas yang bisa menahan panas seharian, membantu Ris tetap on walau lelah kadang menguasai.

Ris menyadari bahwa kebanyakan kegiatannya dilakukan sendiri, sudah biasa begitu. Hingga ia berpikir kalau pergi ke rumah sakit sendiri pun dia sanggup, paling lama kalau dirawat sehari-dua hari mengabaikan fakta bahwa dokter puskesmas saja tahu kalau penanganan penyakit Ris bukan sekadar obat injeksi dan istirahat sehari-dua hari.

Ris menghela napas. Ia memutar otak tentang bagaimana caranya pulang dari rumah sakit sebelum hari Minggu, sebelum Ibu kembali dari acara besuk kakak sulungnya yang miskin itu.

Sakit ini kalau parah hanya Ris yang boleh tahu, hanya Ris yang boleh mengerti, orang-orang tak perlu tahu karena Ris tak mau dihakimi. Dia sadar dirinya pendosa ulung, sakit di badannya adalah bukti, tidak perlu diperjelas orang lain apalagi Ibu.

Suara langkah kaki dari arah pintu masuk membuyarkan lamunan Ris. Ia menoleh mendapati Adimas masuk ke ruangannya bersama seorang perawat mengikuti. Ketika pandang mereka bertemu, sama-sama mereka mengulas senyum.

"Selamat sore!" Bagi Ris, suara Adimas enak ditelinga. Sopan dengan kesan jenaka dari seorang dokter paling muda di antara koleganya itu, menggambarkan jelas jiwa muda dari sosok yang masih punya banyak energi dan waktu.

Get Well SoonOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz