Chapter XI : Terjebak Ekspektasi

278 35 15
                                    

Debur ombak memanjakan telinga, seiring gemerisik nyiur yang diembus angin. Pemandangan sehari-harinya adalah laut dan bentang pasir putih yang mengelilingi pulau. Kapal-kapal nelayan dan orang-orang yang beraktivitas santai.

Tak perlu buru-buru. Semuanya dijalankan dengan tenang. Hiburan dekat di depan mata. Walau bayaran atas jasanya hanya ikan tangkapan kemarin sore.

Sebuah pulau bagian dari Timor Tengah Selatan, habitat Adimas yang membakar semangatnya untuk mengabdi menjadi dokter. Sebuah tempat di mana Adimas menemukan jati dirinya.

Adimas si anak kedua dari tiga. Alasannya kuliah kedokteran tidak ada. Dimasukkan oleh Bapak ke universitas swasta walau bayarannya selangit, sebab si bujang satu ini tak tahu harus kuliah apa. Cita-citanya jadi atlet, tapi menurut Bapak jadi atlet itu masanya terlalu pendek, dalam beberapa tahun performa Adimas akan kalah dibanding atlet-atlet muda yang masih penuh tenaga.

Jadi dokter saja akhirnya. Mau tak mau harus dijabanin sebab seharga rumah petakan di cluster sudah hangus buat uang pendaftaran dan semester pertama. Ya, mau tidak mau Adimas harus jadi dokter, karena bapaknya dokter, ibunya dokter, kakaknya juga dokter.

"Pak, kenapa Bapak jadi dokter?" Dulu Adimas pernah bertanya pada Bapak.

"Soalnya dulu Mbah Putri suka sakit-sakitan. Jadi Bapak niatnya mau jadi dokter biar bisa bantu Mbah Putri sembuh." Tapi Mbah Putri kepalang meninggal tepat sebelum Bapak sumpah dokter.

"Bu, kenapa Ibu jadi dokter?" Adimas juga pernah bertanya pada Ibu. Ibu tertawa sebelum menjawab.

"Ibu inginnya jadi polisi, Eyang Kung inginnya Ibu jadi dokter. Makanya Ibu jadi dokter polisi, jadi dokter forensik polisi." Ibu bangga sekali.

"Ibu gak perlu lari-lari kalau jadi dokter polisi. Cukup kasih tahu teman-teman yang lain dari hasil otopsi, tapi tetap jadi orang berjasa seperti cita-cita Ibu. Tetap bisa menangkap orang jahat." Semangat sekali Ibu ini, hingga wajahnya merona dan matanya berbinar-binar.

"Mbak Jan, kenapa masuk kedokteran?" Adimas juga bertanya pada Anjani untuk mendapat penjelasan panjang lebar tentang 101 alasan Anjani jadi dokter mulai dari jumlah dokter yang kurang, peluang karena selalu ranking satu dan sebagainya.

Lalu kenapa Adimas jadi dokter? Adimas tak menemukan alasan sampai ia menapakkan kaki di Timor Tengah Selatan.

"Pak Dokter! Ini ada ikan!" Itu undangan dari para pria yang menanti waktu melaut di pinggir pantai sambil menikmati ikan bakar.

Mereka memanggil Adimas untuk duduk melingkari api unggun. Berkumpul sambil tanya ini-itu. Mata mereka berbinar-binar mendengar Adimas yang menjelaskan tentang kesehatan.

"Pak Dokter! Nanti kalau aku sudah besar, aku juga mau kuliah ke Jawa, biar jadi Dokter seperti Pak Dokter." Seorang anak bicara gembira setelah Adimas membantu sang ibu melahirkan di rumah.

"Memang kenapa kamu ingin jadi seperti aku?" tanya Adimas.

"Soalnya Pak Dokter membantu banyak orang."

Pada dasarnya Adimas itu hatinya selembut kapas. Meleleh dia dipuji anak kecil yang umurnya bahkan belum lima tahun. Merasa menemukan dirinya di pulau, dengan banyak orang yang melihatnya tanpa banyak syarat ini-itu.

Nikmat memang jadi yang terpenting itu. Merasa makin semangat untuk terus menebar kebaikan.

"Sudah disekolahkan mahal-mahal bayarnya pakai ikan? Haduh, Adimas!" Nyinyir Bude Purwati ketika bertemu dengannya pada hari kematian Mbah Kakung.

Adimas tak pernah merasa itu hal yang salah. Toh, Bapak dan Ibu bisa pergi di Hari Raya untuk bekerja demi kemaslahatan umat. Lebaran kumpul lengkap terhitung jari, ya seperti ini, bahkan di hari kematian Mbah Kakung, Ibu tak dapat hadir karena mengabdikan diri membantu masyarakat.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now