Chapter II : Pasien Pertama Adimas

641 85 91
                                    

Tak ada yang menarik, tak ada yang membuat dr. Adimas Eka Putra Suseno, Sp.PD menikmati profesinya. Hanya dokter junior yang segalanya masih dibatasi, harus mau dititipi hanya untuk mendapat picingan mata dan hela napas kecewa.

Ini kali pertama Adimas menjadi penanggung jawab pasien rawat inap. Baru saja masuk, tepat ketika Adimas menyelesaikan pemeriksaan di instalasi rawat jalan poli internis-gastroenterologi. Diagnosanya dyspepsia syndrome berarti semua organ yang ada di dalam perut harus diperiksa.

Karisma Atmariani. Dua puluh empat tahun. Keluhan; nyeri di perut atas, perut kembung, muntah air berwarna kuning kehijauan yang membuat radang tenggorokan. Telah dirasakan selama satu bulan.

Adimas mengernyit ketika membaca rekam medisnya. Penasaran tentang pertimbangan apa yang membuat Anjani, dokter jaga yang merupakan adiknya itu mendiagnosa sebagai dyspepsia syndrome bukan gastritis.

Adimas lanjut membaca.

Feses berwarna cokelat muda dengan darah segar menetes. Minum obat antihemoroid dari puskesmas lalu membaik. Sejak tiga hari lalu porsi makan menurun drastis, sudah dua hari tidak makan dan hanya minum.

Obat yang sudah dikonsumsi, Lansoprazole dua hari sekali tiga puluh menit sebelum makan, pertengahan bulan diganti Antasida doen selama satu minggu sebelum kembali mengonsumsi Lansoprazole dan Sukralfat tiga kali sehari setengah jam sebelum makan.

Adimas menghentikan langkahnya sesaat di tengah sepinya koridor penghubung antara bangunan lama dan bangunan baru CCIH. Dosis Lansoprazolenya terlalu tinggi tapi tidak membaik.

Adimas berpikir. Mungkin rasa mual hingga muntah itu efek samping dari penggunaan obat berlebih, bisa jadi juga memang tidak ada pemulihan hingga gas dari asam lambung terperangkap di lambungnya.

Masih banyak ruang kosong di bangunan baru, beberapa koridor berkelok-kelok dan cahayanya remang-remang. Masih ada enam lantai yang harus dilewati dengan tangga darurat sebab lift utamanya diprioritaskan untuk pasien sementara satu lift lain rusak sejak pagi tadi.

Rasa takut tak ada dalam benak Adimas. Kalau boleh jujur, rasa yang menggerayangi kepalanya adalah kecemasan menangani pasien pertama di bawah tanggung jawabnya penuh. Dia berharap bukan kasus yang berat.

Dua puluh empat tahun. Gastritis yang sering disebut maag sering dijadikan bahan guyon sebagai penyakit maaghasiswa. Stress, pola makan tidak teratur di perantauan, culture shock, biasa jadi penyebabnya. Orang-orang kantoran juga serupa, lebih buruk dengan pola hidup yang lebih berantakan malah.

Adimas melihat kolom pekerjaan pasiennya kali ini. Ilustrator di Mukukara, sebuah penerbit buku anak yang terkenal akhir-akhir ini setelah melakukan kurasi dan kampanye literasi usia dini. Adimas tahu karena beberapa buku terbitan Mukukara mejeng di perpustakaan mini Poli Anak.

Dari latar belakang si pasien Adimas mengira-ngira, mungkin gastritis karena stres mengerjakan proyek baru atau lupa makan karena fokus dengan proyeknya. Semacamnya, kurang lebih begitu.

"Malam, Dok!"

Tak terasa kakinya sudah melangkah sampai ke lantai sembilan. Lantai paling tinggi rumah sakit ini. Perawat-perawat dinas siang yang sedang menunggu para perawat dinas malam over shift menyapa Adimas dengan ramah di meja perawat.

"Karisma Atmariani. Sudah sampai sini?" tanya Adimas sambil menyodorkan data yang diterimanya.

Seorang perawat berkacamata mengangguk. Ia beranjak dari balik meja membawa beberapa catatan tentang si pasien yang bahkan baru pertama kali berobat di sini.

Suatu hal yang mengejutkan malam ini. Mungkin Adimas tak akan menyangka bahwa kejadian ini yang membuatnya kemudian memutuskan mengambil sub-spesialis gastroenterologi dan hepatologi.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now