Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?

396 46 7
                                    

Jerit tangis dari ujung koridor membangunkan Ris di tengah malam. Memecah hening, memicu keramaian di koridor yang sarat akan panik dan duka. Menimbulkan pertanyaan dalam benak si gadis dua puluh empat tahun itu.

Ada apa? Ada yang meninggal? Lalu siapa yang akan menyusul selanjutnya? Apa mungkin Ris akan menyusul secepatnya? Sebab dadanya nyeri dan sekadar napas saja terasa mengikis tiap sel dalam tubuh Ris.

Ris bangun terduduk mencoba menstabilkan napas. Ia baru ingat kalau sang ayah ada di sana ketika menerima inhaler untuk meredakan gejala asmanya yang kambuh malam ini.

Semenit, dua menit hingga dua puluh menit. Ris berusaha menetralkan napasnya sebelum bersandar pada sandaran kasur yang ditinggikan. Ia melirik ke sebelah kanan, menatap Suryadi yang tampak khawatir.

Ada ribuan pertanyaan dalam benak Ris. Ingin ditanyakan pada ayah yang sudah kelewat sangat lama tidak ditemuinya langsung. Memandang potret dirinya pada Ayah bila dia lahir sebagai lelaki.

"Kalau masih sesak Ayah panggil perawat," kata Suryadi khawatir.

Obat tadi mujarab. Yang memang bertahun-tahun Ris memakainya untuk pertolongan pertama. Besok pagi kalau bertemu Adimas, Ris akan menceritakan kambuhnya malam ini agar sang dokter mungkin bisa meresepkan obat lewat nebulizer untuk terapi harian.

"Nggak, sudah gak apa-apa," kata Ris pelan.

"Jangan bohong. Kasihan dokter Adimas kalau kamu bohong lalu salah diagnosis, dia yang kena getahnya kalau kamu berbohong tentang kondisi kamu." Ini Suryadi menguji, menguji seberapa peduli Ris pada Adimas, membuktikan satu dugaan yang terjebak dalam pikiran.

Ris terjebak. Jantungnya berdetak cepat. Kini ia khawatir kalau Adimas dipecat oleh sang ayah karenanya. Tidak tahu dia kalau Suryadi hanya bisa melaporkan dan dr. Aryanto yang akan memutuskan apakah Adimas harus dipecat atau tidak.

"Masih agak sesak, tapi biasanya juga begini," kata Ris akhirnya.

Suryadi mengeluarkan oksimeter yang kemudian di pasang di jari telunjuk Ris untuk terus memantau saturasi oksigen dalam tubuhnya. Setidaknya harus sampai di angka 85 ke atas, baru Suryadi bisa agak tenang.

"Kalau di rumah sering kambuh?" tanya Suryadi.

"Sebulan minimal sekali. Kadang kalau kecapekan bisa seminggu dua sampai tiga kali," jelas Ris. Dia jujur demi Adimas, tak mau kalau sang dokter sial karenanya.

"Berobatnya gimana dan di mana?" tanya Suryadi lagi.

"Ke puskesmas paling," jawab Ris seadanya.

"Waktu kuliah ke poliklinik kampus," tambah Ris lagi sambil berusaha mengingat-ingat.

"Nanti mulai berobat lagi, ya. Harus rutin itu loh," kata Suryadi dengan nada khawatir.

Suryadi menghela napas. Dalam hati sedang menyalahkan dirinya sendiri atas segala kelalaian yang ia lakukan. Kelalaian yang membuat putrinya sakit.

"Kenapa gak pernah bilang sama Ayah?" tanya Suryadi pelan walau tahu pertanyaan itu sebenarnya salah total.

Ris pun merasa pertanyaan itu salah. Tatapannya pada sang ayah berubah, kini kesal sedikit demi sedikit menguasai emosinya. Ia menarik napas dalam menyisakan rasa perih yang tersayat-sayat, sebelum menghembus perlahan guna menahan amarah dalam jiwa.

"Ayah gak menikah lagi. Ayah juga sekarang hidup sendiri. Terus kenapa harus cerai sama Ibu?" tanya Ris menahan diri untuk tak mengeluarkan nada sinis.

"Apa memang Ibu tukang selingkuh?" tanya Ris. Yang membuatnya marah adalah segala ketidaktahuannya tentang alasan perceraian Suryadi dan ibunya Ris.

Get Well SoonWo Geschichten leben. Entdecke jetzt