Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking

406 50 13
                                    

Adimas baru tiba di kamar apartemennya. Tidak memilih pulang ke rumah orang tuanya karena Bapak jaga malam dan Ibu ada kasus di luar kota, gali kubur terus. Alvaro, adik bungsunya, tidak di rumah, katanya mau menginap di kosan Dwiki untuk mengerjakan tugas.

Apartemen yang hanya dijadikan tempat menumpang tidur. Adimas lebih sering pulang ke rumah orang tuanya yang berjarak hanya lima kilometer dari apartemennya itu. Makan gratis, cuci baju gratis, menyetrika gratis. Pembantu mereka Yuk Mirah begitu setia mengabdi walau umurnya kini sudah tua.

Langsung Adimas berbaring di kasurnya. Tadi sudah makan malam bersama gengnya di rumah sakit, jatah makan malam di luar sebulan sekali, nostalgia masa-masa koas dengan makan di angkringan dekat stasiun.

Sebelum Adimas memutuskan untuk mandi, tiba-tiba terbersit tema overthinking malam ini. Bagaimana kalau tiba-tiba Ris sesak napas dan tidak ada siapa pun yang membantunya? Bagaimana kalau tiba-tiba ia meregang nyawa?

Ponsel diambil. Dalam kondisi seperti ini hanya satu orang yang bisa dihubungi.

"Mbak!" Baru panggilan diangkat oleh orang tertuju, Adimas sudah buka suara hampir berteriak. Mbak Jani alias dr. Anjani Eka Putri Suseno, Sp.PD-KGEH.

"Apa?!" balas Jani dari seberang telepon, "Mbak lagi visit. Cepat mau ngomong apa?"

"Jadi pasien ranap aku tuh gak ada yang nemenin, Mbak. Tadi terakhir pas aku visit saturasinya 83, AC ruangannya emang dingin, dia ada riwayat asma yang kambuh kalau kedinginan. Kalau tiba-tiba serangan asma gak ketahuan, aku bakal dipecat gak?" tanya Adimas dengan cepat.

"Hush! Gak boleh ngomong gitu, Dimas!" tegur Jani. "Sebelum pulang kamu apakan dulu pasiennya?"

"Aku kasih nebu," jawab Adimas.

"Udah benar, kok. Kalau dia sendirian harusnya perawat ruangan juga lebih aware," balas Anjani santai.

"Kalau ada apa-apa ya pasti kamu sebagai penanggung jawab juga dipanggil. Semua yang terlibat akan dipanggil, termasuk perawat yang standby saat kejadian. Kamu berdoa saja pasiennya tidak kenapa-napa," jelas Anjani yang ternyata malah membuat Adimas takut.

"Kalau ternyata keluarga pasien menuntut pihak rumah sakit kalau ada apa-apa, aku dipenjara gak, Mbak?" tanya Adimas lagi.

Terdengar hela napas kesal dari seberang telepon. Adimas yakin kalau Jani ada di dekatnya dia sudah dijitak keras.

"Itu mah nanti urusan lawyer-nya. Kamar berapa? Nanti Mbak tengokin, deh," kata Jani.

"Gak usah, Mbak!" Karena nanti Adimas mungkin malah kehilangan pasiennya yang berharga karena si pasien lebih memilih dirawat Jani.

"Aku mau ke CCIH lagi aja," kata Adimas membuat Jani geleng-geleng kepala atas kelakuan adiknya itu.

"Aktifin on-call biar kalau ada apa-apa terdata. Kinerja kamu jadinya nanti lebih bagus," kara Anjani mengingatkan.

"Ok, Mbak!"

Adimas kemudian bergegas. Mandi dulu agar badannya bersih. Ia memilih piyama kelabu yang nyaman. Tak lupa sandal karet yang selalu menemaninya ke minimarket turut dipakai. Bantal leher langsung dipakai, malam ini dia akan tidur di sofa.

Dalam tas ranselnya, ia memasukkan dua pasang scrub untuk besok, pagi praktik di RS Cendekia Raga, siang lanjut di CCIH. Stetoskop dan cap tidak lupa, buah-buahan juga dibawa untuk sarapan pagi.

Dari kamar apartemennya. Terlihat samar kamar rawat inap Ris. Ya, apartemen Adimas berada di seberang CCIH, terpisah oleh stasiun besar jadi kalau berangkat jalannya harus memutar.

Get Well SoonWhere stories live. Discover now