Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi

286 36 8
                                    

Sudah segar tanpa drama infus lepas seperti biasanya. Hari ini mandi pertama Ris sejak terakhir infusnya dipasang, kemarin-kemarin hanya dibantu perawat untuk berseka pagi dan sore. Berkat Ibu yang mengkondisikan, walau Ris tetap tak mau dimandikan karena malu.

Ibu membawa pengering rambut. Suaranya lembut memecah hening pagi itu, memberi aura hangat di kulit kepala, mengeringkan air yang tersisa di rambut panjang Ris yang tebal dan bergelombang.

Ris irit bicara, ada rasa takut yang menguasai hatinya waktu Diani muncul di depan wajahnya subuh tadi. Takut disalahkan keputusannya, takut diungkit kesalahannya, pokoknya takut sakit hati karena ucapan Ibu yang kadang tidak terkontrol ketajamannya.

Diani mengepang rambut Ris, mencoba mengingat-ingat kapan terakhir dia mengepang rambut anak gadisnya itu. Baru waktu kerja Ris memanjangkan rambutnya, walau nanti tertutup kerudung, tapi baru-baru ini Ris menyukai rambutnya panjang tergerai.

Pergi pagi, pulang petang, atau mengurung diri di kamar seharian. Diani memang kesal kalau Ris sudah begitu, lagi pula kerjaannya terlihat serabutan walau memang ada hasilnya. Hanya tak suka atas tuduhan orang pada Ris tentang si gadis itu kerjaannya jadi simpanan, karena siang hari di rumah terus, sekalinya pergi lama ke luar negeri dan pulang bawa oleh-oleh.

Kolotnya orang tak tahu kalau ada yang namanya remote working. Apalagi Ris itu ilustrator, kerjanya cari ide untuk menghasilkan karya yang paripurna. Diani sesungguhnya tidak menerima pekerjaan ini, tidak jelas karena Diani tak bisa menjelaskan.

Sejak kapan hubungan Diani dengan Ris menegang sebegini parahnya? Sejak Ris tahu permasalahan keluarga besar Diani atau sejak Ris lelah dituntut ina-inu akhir-akhirnya hanya untuk dijadikan helper di rumahnya yang tiba-tiba jadi panti jompo.

Ris sebelum masuk rumah sakit banyak merengut. Gadis yang biasanya tak banyak protes itu mulai banyak mengeluh. Sungguh membuat Diani kesal bukan main.

Lagian bukannya cari tempat kerja yang waras malah memilih penerbit kecil yang isinya perempuan semua. Diani tak suka, sebab tak ada lagi kesempatan Ris dekat dengan lelaki, takut sekali kalau putri semata wayangnya nanti malah dipacari gadun karena tak laku-laku.

Kepangan rambut Ris selesai. Tampak lebih segar daripada biasanya. Hal kecil ini menarik senyum di wajah ayu si gadis.

"Terima kasih, Bu." Terkesan kaku dan formal, tapi sungguh Ris ucapkan tulus dari hati yang terdalam.

Rambut tidak lagi mengganggunya seperti hari-hari kemarin, kepalanya terasa ringan dan harum tubuhnya membuat dirinya merasa lebih baik. Sekali lagi Ris berterimakasih pada Diani sebelum kembali membaringkan tubuh di kasur yang sandarannya setengah duduk.

Untuk pertama kali, televisi dinyalakan. Diani yang menyalakan. Menonton siaran berita pagi yang riuh mengisi ruangan. Daripada kelewat sepi, sebab tiga manusia tak sanggup untuk berinisiatif membuka pembicaraan.

"Selamat pagi!" Sebuah sapa memecah hening. Dari siapa lagi kalau bukan Adimas. Datang bersama seorang perawat yang membawa kursi roda.

"Sampai pagi ini gimana kondisinya?" tanya Adimas seperti biasa memulai sesi dan seperti biasa duduk di tempat favoritnya.

"Sesaknya sudah berkurang, sakit perutnya juga membaik, hidungnya tidak begitu mampet," jelas Ris.

"Aku periksa dulu sebentar, ya." Adimas minta izin sambil menurunkan sandaran kasur Ris hingga gadis itu berbaring.

"Permisi," kata Adimas sebelum menekan perut atas agak ke sebelah kanan.

"Aw." Ris memberi kode kalau bagian itu sakit.

Adimas menekan perut atas bagian tengah dan Ris diam.

"Yang ini gak sakit?" tanya Adimas.

"Sakit tapi gak terlalu sakit," kata Ris, "lebih sakit yang sebelumnya."

Get Well SoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang