Chapter XVI : Di Rumah Ayah

522 55 17
                                    

Ris membeku di depan sebuah pintu kamar yang terbuka di lantai dua rumah Suryadi yang minimalis tak jauh dari CCIH. Terkejut melihat isinya antara haru dan tak terbayang sebelumnya.

Mengharu biru sungguh Ris yang perasa ketika mendapati dia punya kamar dengan meja kerja yang nyaman dan rak-rak buku yang penuh tertata rapi. Buku-buku karangannya berjajar, warna-warni menggemaskan, bersanding dengan buku yang jadi wishlist pribadi. Terharu karena minimnya komunikasi dengan Suryadi membuat Ris tak menyangka bahwa sang Ayah masih mengenal dirinya.

Tak terbayang alias tak habis pikir. Bagaimana tidak, kasur kamarnya layaknya kasur rumah sakit. Di sebelah kasur ada nakas yang di atasnya telah disediakan laci untuk menyimpan obat-obatan. Kalau nakasnya dibuka, bisa ditemukan mulai dari tensimeter, oksimeter, nebulizer hingga kotak P3K yang remeh-temeh. Lebih mengejutkan lagi, tabung oksigen sedang yang terisi penuh.

Ada dua kontradiksi antara sebuah kamar pecinta buku yang estetik ala pinterest dan kamar rumah sakit VIP CCIH. Selayaknya sebuah standar pelayanan ganda antara jadi dokter dan jadi ayah.

Ris tertawa hambar. Bingung sungguh bingung. Mau bahagia dan miris seakan bergabung jadi satu.

"Ayah baru beli kasurnya?" tanya Ris. Suryadi mengangguk.

"Itu lebih bagus dari standar CCIH," kata Suryadi. Tepatnya, Suryadi sudah minta kasur seperti ini, tapi direktur bagian sarana dan prasarana lebih memilih beli yang lebih ekonomis.

Ketika berbaring, Ris baru menyadari adanya televisi sedang di sana. Ah, sungguh menyempurnakan sebuah kamar rawat inap VIP.

"Tinggal tunggu visit Dokter Adimas," canda Ris ketika naik dan berbaring di atas kasur. Suryadi tertawa.

"Visit Dokter Suryadi dulu aja sekarang mah," ucap Suryadi di sela tawanya.

"Makan malam jam enam, nanti jam lima dan setengah enam makan dulu obatnya, ya. Nanti Ayah siapkan." Suryadi berkata menjelaskan.

"Karena dapat surat istirahat tiga hari lalu nanti dilanjut kontrol, jadi minggu ini kamu belum bisa berangkat kerja." Suryadi terus menjelaskan.

"Untuk olahraga, ada treadmill di bawah. Jalan saja tiga puluh menit di treadmill, terus ada juga video workout dari Dokter Adimas, yang itu bisa dijalani, tidak terlalu berat untuk paru-parunya."

Ris hanya bisa manggut-manggut paham. Ya, memang mungkin seharusnya dari dulu begini. Ini tempat yang nyaman, dia senang. Harusnya biar dia dulu dianggap durhaka sekalian dengan memilih tinggal dengan Suryadi karena toh bagi Ibu, Ris tetap seorang pendosa.

"Terima kasih, Ayah." Begitu ucap Ris dengan tulus.

Tenang. Begitu tenang tanpa Ibu, tapi di lain sisi, Ris juga kasihan dan merasa punya hutang budi yang tak terhitung pada Diani. Bingung, ya mau bagaimana lagi, seperti nasibnya memang begitu.

"Sama-sama," jawab Suryadi pelan. Sudah seharusnya dan seharusnya dari dulu seperti ini.

"Gimana menurut kamu? Kamarnya?" tanya Suryadi meminta testimoni.

"Aneh, sih." Ris berkata pelan mengutarakan kejujuran. "Benar-benar kayak dirawat di rumah sakit tapi ada bukunya."

Suryadi menatap Ris khawatir. Khawatir membuat Ris tak nyaman tepatnya. Respon ini membuat Ris tertawa kecil, ekspresi persis plek ketiplek seperti Dokter Adimas.

"Ayah kalau galau kayak Dokter Adimas," ejek Ris sambil tertawa puas.

"Kayaknya semua dokter kayak gitu kalau masalah pelayanan, Ris. Takut gitu, takut tidak memuaskan," balas Suryadi mencari pembenaran.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 26, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Get Well SoonWhere stories live. Discover now